Ini cerita tentang Imam Amudi, ilmuwan yang jadi gurunya para malaikat. “Berakit-rakit ke hulu, berenang ke tepian, sakit-sakit dahulu susah-susah dahulu baru kemudian bersenang-senang”. Mungkin ungkapan itulah yang cocok untuk menggambarkan kisah seorang ilmuwan hebat sekaligus sufi berkelas bernama Imam Amudi.
Kegemaran terhadap ilmu matematika mengantarkan Imam Amudi menjadi guru para malaikat Allah. Sebab kepiawaiannya menyusun rumus-rumus, ia mengimani bahwa Allah lah pusat dari segalanya.
Mengetahui hal itu Allah SWT memerintahkan: “Wahai para malaikat simak dan dengarkanlah hambaKu (Imam Amudi) berbicara, dia telah melakukan riset sekian lama sampai menemukan kesimpulan bahwa segala sesuatu di alam semesta ini berasal dari dzat-Ku yang satu “Wahidul Qohar“.
Imam Amudi mengajari para malaikat beragam rumus yang membuktikan kebesaran Allah SWT. Ia berujar bahwa: “Nisbatus naini wa tsalatsah wa arbaah ila ma nihayata laha far’ul wahid” yang berarti (penisbatan angka dua, tiga, empat sampai seterusnya adalah cabang dari satu (yaitu Allah SWT).
Karena keahliannya, Imam Amudi mempunyai kedudukan luar biasa di sisi Allah SWT. Kadar iman dan taqwa setingkat dengan para malaikat sebab rumus-rumus yang ia temukan menjadikan lantaran kedekatannya (Taqorrub) dengan Allah SWT.
Dalam satu riwayat, Rasulullah beberapa kali berujar: “Thuuba liman amana bi wa lam yarooni“, riwayat lain mengatakan bahwa Rasulullah Saw berkata seperti itu sebanyak tujuh kali.
Rasulullah dengan tegas mengapresiasi iman dan taqwa seseorang yang tidak pernah berjumpa atau tidak segenerasi dengan Rasulullah dan para sahabat. Ketegasan ini dilontarkan langsung oleh Rasulullah Saw: “Benar-benar keren dan beruntung bagi orang yang tidak sezaman dengan saya, namun iman terhadap apa-apa yang saya ajarkan”.
Dalam hal ini Imam Amudi membuktikan kepada kita semua betapa pentingnya penelitian-penelitian ilmiah yang bisa mendekatkan kita kepada Allah SWT.
Allahu Akbar
Allahu Akbar
Walillahilhamdu
Kisah ini terdapat dalam ngaji rutin kitab Nashoihul Ibad oleh KH Baha’uddin Nursalim (Gus Baha’)