Kisah Ibnu Muljam memang membuat kita bertanya-tanya, bagaimana sih orang yang dianggap begitu saleh dan gemar beribadah begitu tega membunuh Sayyidina Ali dengan alasan berbeda pendapat, di bulan suci Ramadhan pula? Dari ini, kita bisa mengambil ibrah (pelajaran) penting.
Pertama, beragama dan berislam itu sangat diperlukan tuntunan dan sokongan ilmu pengetahuan yang tentunya tidak stagnan alias bergerak maju sesuai dinamika zaman. Sokongan perangkat disiplin ilmu yang komprehensif dalam mengkaji teks-teks Islam akan menjadikan kita bisa lebih paripurna dalam memproduksi makna-makna nash dengan lebih kontekstual sesuai konteks historis kita kini, kemudian darinya kita bisa mengambil sikap yang bijaksana pada dua aras sekaligus: syariat dalam doktrin kepatuhan dan sosial dalam ekspresi kebersamaan hidup yang mejemuk.
Menjadi riskan dan ahistoris bila kita menyekatkan pandangan keislaman kita dengan kaku, saklek, dan fanatis, sehingga kita alpa pada keunikan realitas di depan wajah yang tak terakomodir sepenuh-penuhnya oleh khazanah lama itu. Akibatnya, kita yang milenial ini terjebak untuk menerapkan standar berpikir dan bergerak salaf yang sebagiannya telah ahistoris.
Hasilnya, kita bakal kerap terlihat bagai “alien”: aneh, ganjil, dan memprihatinkan. Sungguh sulit dicerna bagaimana kita menempuh perjalanan ke masa depan dengan kepala terus-menerus menoleh ke belakang –dalam ilustrasi AS Laksana.
Kedua, semakin luas dan dalam ilmu pengetahuan yang dilibatkan dalam mengkaji nash-nash Islam dengan sendirinya akan sangat menolong kita untuk mampu memaklumi dan memafhumi betapa samudera makna yang bisa diproduksi amatlah tak terbatas. Korpus terbuka, begitu istilah populernya. Pengertian pada ketakterbatasan produksi makna itu meniscayakan jiwa legawa dan toleran pada keragaman dan kamajemukan yang nyata adanya. Baik secara personal, jamaah, hingga paradigma.
Dengan logika terbalik, (maaf) dapat disimpulkan bahwa sikap-sikap fanatis absolutis pada suatu penimbaan makna nash-nash merupakan cerminan nyata bagi kedangkalan keilmuan itu sendiri.
Ketiga, di luar perkara komptensi keilmuan, penting betul buat kita semua untuk kritis pada ideologisasi Islam. Wujudnya bisa sangat beragam. Entah itu yang bercorak politik praktis partisan ala-ala kontestasi pemilu maupun ala-ala ideologi Khawarij dan Muljam yang menjadikan surga sebagai gula-gula hadiah bagi anggota pemikiran, gerakan, dan ideologinya.
Abdurrahman bin Muljam jelas berada pada sikap ideologis setamsil itu ketika tega menebas kepala Ali bin Abi Thalib. Postur ideologinya dibingkai dengan proklamasi menegakkan hukum Allah dan RasulNya, hukum al-Qur’an, dan jihad untuk syahid dengan hadiah gula-gula surga.
Suara-suara ideologis sejenis itu hari ini sama sekali tak sepi di sekitar kita, utamanya di media sosial. Tanpa bermaksud mengkotakkan mereka sebagai neo-Khawarij, dapat dimafhumi bahwa sikap-sikap fanatis-absolutis yang terus-menerus dibingkai dengan pekik keras jihad, syahid, dan surga setara dengan pekikan Khawarij Abdurrahman bin Muljam.
Inilah aspek-aspek mendasar keislaman kita hari ini yang sangat urgen untuk dimengerti, dikritisi, dan diwaspadai di tengah derasnya media dan sarana kampanye, publikasi, ataupun dakwah yang melimpasi seluruh ruang hidup kita tanpa ampun, siang dan malam.
Sikap kritis demi mengembalikan wajah Islam yang sejuk dan teduh di tengah kemajemukannya yang rawan digesek dan dilebamkan ini bisa kita mulai dari personal kita masing-masing dengan cara memilih dan menjadikan paham Islam kita adalah Islam yang sejuk, ramah, dan berakhlak karimah. Baik di ruang keluarga masing-masing maupun lingkungan sosial terdekat yang bisa dijangkau, seperti mimbar-mimbar masjid di kampung-kampung kita.
Berislam itu jelas untuk memuliakan praktik kehidupan dengan segala ajaran keadabannya, bukan mencari mati. Jika tujuan berislam hanya untuk mencari mati, agar dapat jalan tol menuju surga, maka seluruh bangunan pelajaran keadaban, persaudaraan, dan kemanusiaan dalam al-Qur’an menjadi tiada guna sema sekali keberadaannya.