Saya merasakan—mungkin kisaran dua tahun terakhir ini—di masjid-masjid sekitar kota Yogyakarta, Mas-Mas Takmir menyediakan makanan (baik itu berupa nasi bungkus, roti, dan air mineral) seusai sholat Jum’at. Entah itu sumbangan oleh dermawan atau kesepakatan pengurus takmir masjid untuk menyediakan makanan di hari Jum’at.
Masih di sekitar kota Yogyakarta, saya juga pernah menemukan sebuah warung makan yang di sana tertulis: bagi yang berpuasa di hari Senin dan Kamis, mendapatkan buka puasa gratis. Untuk hari Jum’at, bagi yang sudah membaca surah al-Kahfi, mendapatkan fasilitas yang sama, gratisan.
Menurut teman-teman, apa kira-kira motif dari si pemilik warung tersebut atau fenomena masjid yang menyediakan makanan di Hari Jum’at?
Hal ini menarik, karena zaman dahulu kala ketika saya kecil, tidak ada istilahnya setelah Jum’atan mendapatkan makanan dari masjid. Yang ada: sandalku mana?
Pun juga fenomena warung yang memberi makan kepada orang yang buka puasa dan baca surah al-Kahfi. Dugaan saya sih, motifnya adalah sang pemilik warung ingin mendapatkan pahalanya orang yang berpuasa karena memberi makan kepada orang yang berbuka pahalanya sama yang menjalaninya, begitu Sabda Nabi Saw. Atau memang sang pemilik warung mengajak orang-orang untuk giat berpuasa Senin Kamis, serta baca surah al-Kahfi di hari Jumat.
Terlepas dari itu, poin penting yang perlu dicatat di sini adalah bahwa semangat berbagi di tengah-tengah kita masih sangat kuat. Hemat saya, inilah ciri-ciri manusia Indonesia. Diantaranya: suka berbagi, bersedekah, memberi hutang walaupun dirinya sendiri belum sejahtera.
Hal inilah yang menjadikan orang Indonesia disegani oleh bangsa-bangsa lain karena rasa persaudaraannya yang tinggi.
Puncak tertinggi dari agama adalah kemanusiaan. Memanusiakan manusia, menghargai manusia, dan menghormati manusia.
Agama dan Sesuap Nasi
Masih ingat kisah Nabi Muhammad Saw yang menyuapi seorang pengemis Yahudi yang buta, yang tiap hari kerjaannya memaki-maki Nabi Saw. Namun, oleh Nabi Saw, beliau didekati, dan disuapi setiap harinya hingga menjelang beliau wafat.
Hingga suatu ketika orang Yahudi tersebut sadar, kalau selama ini yang dimaki-makiya itu adalah orang yang setiap harinya memberikan makan kepadanya. Bahkan tak ada satupun yang bisa menandingi kelembutannya (dalam hal menyuapi).
Dalam kisah ini, Nabi Muhammad Saw ingin memberikan pelajaran kepada umatnya agar kita tetap berbuat baik kepada siapapun, meskipun orang tersebut berbuat buruk kepada kita. Hal tersebut tidaklah mudah, namun perlu kita coba. Minimal di media sosial, tidak perlu memaki-maki dan memberikan ujaran kebencian kepada yang lain. Kebaikan dan keburukan itu menular. Tinggal kita ingin menanam yang mana?
Pelajaran kedua, agama mengajarkan kepada kita untuk mengasihi dan berbagi kebaikan kepada siapapun. Meskipun orang tersebut berbeda keyakinan dengan kita, berbeda pandangan politik dengan kita, berbeda warna kulit, suku, dan agama dengan kita, agama tetap mengajarkan untuk menebar kebaikan.
Apa yang saya dapat (nasi kotak) di masjid-masjid seusai Jumatan tersebut, sambil merenung, saya berucap: nasiy atau nasiya berarti lupa/pelupa. Manusia adalah tempatnya lupa (tidak ingat). Dengan berbagi kita diingatkan kembali kalau kita hidup tidak sendirian. Ada makhluk-makhluk lain yang mengelilingi kita. Tidak perlu mencela, apalagi menghina dan merendahkannya. Wallahhu a’lam.
Muhammad Autad An Nasher, penulis adalah pengasuh di Islami Institute Jogja.