Alkisah, ada dua perempuan mendatangi seorang hakim yang bernama Ibnu Abu Laila. Dia adalah satu di antara para hakim yang terkenal dan sangat populer di zamannya. Sang hakim mempersilahkan salah seorang di antara mereka untuk berbicara terlebih dahulu.
“Siapa di antara kalian yang ingin berbicara terlebih dahulu?” tanyanya.
“Kamu yang berbicara terlebih dahulu?” kata perempuan tua sambil menyuruh teman perempuan muda yang datang bersamanya.
“Wahai hakim, ayah saya sudah lama meninggal. Perempuan tua ini adalah bibiku, tapi saya sering memanggilnya ibu. Karena ia telah membesarkan dan menanggung biaya hidupku sampai saya menginjak dewasa.” ungkap sang perempuan muda.
“Terus apa masalahnya? tanya sang hakim.
“Suatu ketika anak dari pamanku datang melamar dan menikahiku. Sementara bibiku ini memiliki anak perempuan yang masih kecil. Saat anak perempuannya beranjak dewasa, bibiku menawarkan anak perempuannya kepada suamiku untuk dinikahi. Setelah tiga tahun kami hidup bersama, akhirnya suamiku menerima tawaran dari bibiku. Bibiku pun mulai menghias anak perempuan itu agar dipertemukan dengan suamiku.
Saat suamiku melihat anak gadis itu, ia langsung jatuh hati kepadanya. Bibiku akan menikahkan mereka berdua dengan syarat urusan anak perempuan saudara laki-lakinya harus diserahkan kepadanya.”
Suamiku menyetujui persayaratan itu. Di hari pernikahan, bibiku datang kepadaku dan mengabarkan bahwa suamiku telah menikah dengan anak perempuannya. Dan semua urusanku pun ditangani oleh bibiku. Dia pula yang mewakiliku untuk bercerai dengan suamiku. Semua hari-hariku baik siang dan malam saya jalani dengan menyandang status bercerai. Selang beberapa waktu kemudian datanglah suami bibiku dari perantauan. Saya pun memintanya untuk menikahiku. Suami bibiku adalah seorang sastrawan tersohor. Ia mau menikahiku tapi saya meminta syarat kepadanya. Syaratnya adalah ia harus menyerahkan urusan bibiku kepadaku dan disetujui.
Saat itu pula, saya sampaikan kepada bibiku bahwa urusannya sekarang berada di tanganku. Kemudian saya menikah dengan suaminya. Saya pula yang mewakili bibiku untuk bercerai dengan suaminya. Dan saya doakan semoga bibiku selalu diberi umur panjang.
Sang hakim merespon secara spontan cerita sang perempuan muda itu. “Ya… Tuhanku.”
“Inti masalahnya belum dimulai, wahai hakim.”kata perempuan muda itu sambil melanjutkan ceritanya.
Beberapa tahun kemudian, suamiku yang seorang sastrawan tersebut meninggal dunia. Lalu datanglah bibiku meminta harta warisan dari suami yang telah menceraikannya. Namun, saya tolak karena ia tidak ada hubungannya dengan suamiku dan harta warisannya. Setelah masa iddahku selesai, datang lagi bibiku bersama anak perempuannya serta suami dari anak perempuannya yang telah menceraikanku untuk memutuskan perkara harta warisan tersebut.
Namun, ketika dia melihatku, seketika itu kenangan masa-masa lalu bersamaku mulai datang kembali. Ia rindu ingin hidup bersamaku lagi. Ia berjanji untuk setia kepadaku. Aku mau menikah dengannya namun dengan satu syarat. Yaitu, urusan istrinya harus diserahkan kepadaku dan disetujui. Saya pun mewakilkan istrinya untuk bercerai dengan suaminya yang akan menikahiku.
Sang hakim nampak kebingungan mendengar ceritanya dan meletakkan tangannya di atas kepala. “Jadi, di mana pertanyaannya?”
“Adilkah jika saya dan anak perempuanku diceraikan lalu dia mengambil dua suami dari kami dan harta mereka berdua? tanya perempuan tua itu kepada hakim.
“Saya tidak melihat sesuatu hal yang dilarang dan diharamkan dari seorang laki-laki yang menikah dua kali kemudian bercerai dan memberikan kuasa harta warisan kepada istrinya.” jawab hakim.
Pada saat sang hakim pergi ke salah seorang wali kota, ia menceritakan kejadian tersebut. Mendengar kejadian itu, sang wali kota tertawa terbahak-bahak sambil membanting-banting kedua kakinya di atas tanah dan berkata, “Semoga orang tua bangka itu segera mati karena perbuatannya. Barang siapa yang menggali lubang buat saudaranya, maka ia akan ikut terperosok di dalamnya. Namun, perempuan tua itu bukan terporosok di lubang justru terjatuh di laut.”
Kisah di atas penuh dengan pelajaran. Karena ia mengajarkan kita untuk selalu menghargai hak orang lain dan tidak seenaknya mengganggu ketentramannya. Seorang muslim hendaknya menyadari bahwa setiap perbuatan yang dilakukannya pada akhirnya juga akan kembali pada dirinya sendiri.