Poso, kita mengenal kota ini sebagai bagian kelam dalam sejarah bangsa kita yang pernah diamuk konflik sektarian. Bulu kuduk kita bisa bergidik kala mengenang peristiwa mengerikan tersebut. Tapi, jika Anda berkunjung ke kota ini sekarang, maka dengan mudah sekali menemukan senyum dan keramahan penduduknya.
Hal itu tidak terlepas dari peran sosok-sosok kecil dan orang-orang biasa yang konsisten menjahit persaudaraan yang terkoyak, serta berani membuat perubahan demi Poso yang damai. Dan kemarin, saya berjumpa dengan mereka. Dua orang perempuan dengan kisah menginspirasi.
Saya berjumpa dengan dua orang tersebut, Hj. Ustadzah Ruwaidah dan Pendeta Nelly Alamako dalam diskusi yang berbobot dengan para mitra Wahid Foundation di Poso, 31 Januari 2018. Dua orang ini srikandi pelopor Deklarasi Damai Malino yang mengakhiri konflik komunal atas nama agama di Poso 1998-2001.
Didorong oleh kesedihannya melihat pendidikan murid–murid nya yang terbengkalai akibat konflik, Ustadzah yang juga seorang guru agama bertekad untuk menjadi pelopor perdamaian di Poso.
Segera setelah deklarasi damai disepakati antara petinggi muslim dan kristen yang bertikai, Ustadzah Ruwaidah dan Pendeta Nelly segera mendatangi kelompok–kelompok masyarakat yang masih bertikai untuk mengajak damai.
Satu hal yang menarik, yang didatangi ustadzah Ruwaidah pertama kali adalah komunitas kristen. Padahal sentimen permusuhan terhadap muslim masih sangat membara ketika itu.
“Tentu saja saat itu mereka tidak mau bertemu saya,” ujar nya.
Saat tidak ada seorangpun warga mau menemuinya, ustadzah Ruwaidah lalu mengambil sapu, dan menyapu halaman rumah beberapa warga.
Rupanya tindakan menyapu ini berhasil menumbuhkan kepercayaan warga Kristen di kampung itu untuk menerima dan berkomunikasi dengan ustadzah Ruwaidah. Jadilah kampung Kristen tersebut menerima ajakan ustadzah Ruwaidah untuk berdamai.
Selanjutnya, bersama pendeta Nelly, ustadz Ruwaidah keluar masuk ke kampung-kampung muslim dan kristen di Poso untuk mengajak mereks berhenti bertikai.
Saat ditanya bagaimana bisa bernyali besar seperti itu, ustadzah Ruwaidah merasa tidak ada yang perlu ditakutkan dari siapapun.
“Tidak ada orang yang sepenuhnya brutal dan tidak ada seorang pun yang tidak bisa diajak bicara, apalagi dengan kelembutan dan ketulusan perempuan seperti kami,” tutur nya tersenyum ringan kepada peserta diskusi.
Di samping karena melihat nyata penderitaan dan kehancuran akibat konflik, Ustadzah Ruwaidah dan Pendeta Nelly juga memilih untuk tidak larut dalam suasana permusuhan meskipun banyak provokasi kebencian atas nama agama. Bahkan mereka berdua berhasil membuka ruang-ruang komunikasi yang mengatasi sekat–sekat sentimen dan egoisme kelompok-kelompok yang bertikai.
Pendeta Nelly memfasilitasi Ustadzah Ruwaidah untuk datang ke komunitas Kristen, pun demikian sebaliknya.
Dalam situasi konflik seperti ini, mendatangi dan berkomunikasi dengan kelompok ‘lawan’ beresiko dianggap ‘pengkhianat’ oleh kelompoknya masing-masing. Tetapi mereka berdua tidak merasa peduli akan anggapan apapun. Mereka hanya merasa harus ada pihak yang menjadi jembatan untuk merajut perdamaian. Dan, mereka berdua senang telah menjadi jembatan perdamaian itu.
Di masa damai Poso saat ini, Ustadzah Ruwaidah aktif mengajar di STAI dan pengurus MUI Poso, sedangkan pendeta Nelly memimpin jamaah nya di Gereja Kristen Tentena. Kedua srikandi ini tetap bersahabat, aktif berinteraksi dan berdiskusi tentang penguatan toleransi dan perdamaian di Poso. Mereka berdua ingin interaksi dan kolaborasi warga muslim dan kristen di Poso bisa kembali seperti dulu sebelum konflik; saling membantu jika tetangga nya ada kenduri, gotong royong merawat fasilitas dan kebersihan kampung, dan saling menghadiri perayaan hari besar keagamaan masing-masing.