Kisah Muslim Poso dan Gereja yang Berdenting Kembali

Kisah Muslim Poso dan Gereja yang Berdenting Kembali

Poso tidak lagi bergejolak, kehidupan antar islam-kristen sudah harmonis

Kisah Muslim Poso dan Gereja yang Berdenting Kembali
Salah satu ikon Poso yang terkenal. Pict by Imigrum

Saya akan selalu ingat Poso, kota yang pernah dilanda konflik sektarian dan kini menjadi kota menyenangkan itu. Suatu siang jelang akhir Oktober 2017, cuaca di kota itu sangat terik. Laiknya kota pesisir pantai, udara di sana mengandung air laut, membuat kulitku terasa lengket. Walau begitu, terik siang itu tak sampai mengganggu kami yang sedang hangat berbicang di dalam sebuah gereja. Barangkali karena langit-langit gereja yang tinggi sehingga udara begitu leluasa silih berganti keluar dan masuk dari dan ke dalam gereja. Sehingga belasan orang di dalam gereja Baithani Madale yang terdiri dari komunitas kristen Kelurahan Madale, muslim dari Kelurahan Tegalrejo dan kami dari Wahid Foundation tak terganggu oleh cuaca panas.

Hari itu adalah hari ketiga kami di Poso. Kami mendapati kota ini aman selayaknya sebuah kota di tempat lain. Aktivitas jual beli tampak menggeliat di pasar kota sejak dini hari. Lalu lalang warga juga begitu pada pada siang hari. Sore harinya, sejumlah café sekitar pusat kota mulai dipenuhi pemuda. Singkatnya, kota ini sudah aman nyatanya. Tak ada konflik seperti yang dikuatirkan.

Namun diam-diam ada sesuatu yang masih tersisa dari konflik agama itu, yakni kecurigaan dan prasangka. Perasaan itu ada di kedua belah pihak, baik muslim ataupun kristen. Perasaan itu juga menghalangi keterbukaan komunikasi antara kedua pemeluk agama, serta mencegah keterbukaan dan keterusterangan di antara keduanya. Beruntung, pada forum itu seorang pendeta muda bernama Ronald Mosiangi memberanikan mengungkap kegelisahaannya, memecahkan bongkahan kecurigaan melalui sebuah permintaan yang cukup beresiko.

“Begini, Pak. Ini kan sudah mau Desember. Sebentar lagi kami akan merayakan Natal. Kami sudah lama tak merayakan Natal dengan suka cita karena takut mengusik ketenangan umat Islam di Desa Tegalrejo. Tahun ini, kami ingin merayakan Natal. Namun kami ingin tanya terlebi dahulu apakah saudara-saudara muslim akan merasa keberatan jika kita membunyikan lagu natal lewat pengeras suara hingga ke luar gereja dan keberatan jika kami melakukan perayaan di luar gedung gereja ini?” tanyanya.

Pendeta itu pun berhenti sejenak dan saling pandang pun tak terelakkan.  “Sebab dulu sebelum terjadi konflik, kami sering memutarkan lagu rohani ataupun puji pujian lewat TOA gereja saat merayakan natal. Apakah kami bisa melakukan hal tersebut kembali pada saat saat ini?” tambahnya, serayaa bertanya.

Mendengar pertanyaan itu, saya terdiam sambil menghela nafas panjang.

Saya melihat Abdul Rahim, imam masjid Tegalrejo juga demikian. Tentu saja pertanyaan itu membuat perserta dialog diam menghela nafas panjang. Kami sadar, pertanyaan itu menunjukkan ketidakberdayaan. Mereka seolah tidak berdaya untuk merayakan hari besarnya di rumahnya sendiri. Pertanyaan itu menyimpan kekhawatiran dan trauma akibat konflik agama yang berlangsung selama lebih dari sepuluh tahun sejak 1998 hingga 2007.

Dan ternyata, sejak saat itu, lonceng gereja ini tak pernah dibunyikan kembali, bahkan saat Natal sekalipun. Atas nama ‘tidak ingin memicu konflik’ komunitas Kristen ini memilih membatasi kebahagiaannya di balik pintu gereja saja, tanpa berani mengabarkannya melalui pengeras suara.

Saya sendiri yang memimpin jalannya dialog juga tak kalah risaunya mendengar pertanyaan itu. Tak sampai hati rasanya, bagaimana rasanya jika saya tidak dapat merayakan hari idul fitri karena ketakutan akan trauma tertentu.

Bak gayung bersambut, segera setelah pendeta Ronald menyatakan permintaannya, saya meminta tanggapan dari sang imam masjid. Yang melegakan adalah permintaan tersebut langsung mendapat tanggapan baik dari sang imam. Sangat mengharukan mendengar sang imam meminta maaf ketidaktahuannya terhadap beban kesedihan yang dirasakan saudara kristennya.

“Terus terang saya sedih sekali mendengar permintaan ini. Apakah saat umat Islam mengumandangkan azan lima kali sehari melalui pengeras suara ataupun solawatan, umat kristiani merasa terganggu?” kata Abdul Rahim, mengawali tanggapannya. “Kalau teman-teman Kristiani tidak terganggu, tentu kami tidak keberatan jika teman-teman ingin membunyikan toa saat Natal nanti,” ujarnya.

Di penghujung dialog, Rahim berkomitmen untuk membawa permintaan itu ke dalam menjembatani dialog di internal komunitas umat Islam Desa Tegalrejo.

Sebuah Kabar Gembira

Di sebuah pagi, kira-kira sebulah sesudah dialog itu Anto seorang kawan kami di Poso, mengirimiku sebuah email berisi kabar gembira. Di dalamnya ia menulis laporan tentang pertemuan dengan warga muslim desa Tegalrejo, dan hasilnya: “Komunitas warga muslim Kelurahan Tegalrejo tidak keberatan jika warga Kristen kelurahan Madale ingin merayakan Natal 2017 dengan menggunakan pengeras suara”.

Saya yang membaca laporan itu berteriak kegirangan. Email pendek itu membuat makan siang hari ini terasa jauh lebih nikmat. Kami di tim kecil yang datang ke Poso merayakannya dengan senyum sumringah sepanjang hari itu.

Natal yang Raya, Natal yang Bahagia

Pada akhir Desember 2017, Anto kembali mengirimkan kami kabar gembira untuk kedua kalinya. Ia mengirimkan beberapa foto perayaan Natal di gereja itu. Dalam captionnya ditulis “Aparat keamanan, Polisi, TNI bersama Ansor dan sejumlah warga muslim turun memeriahkan perayaan Natal di Kelurahan Madale”.

Kami juga mendapat kado indah berupa sebuah video pendek berisi ucapan selamat dari pendeta Ronald. “Terima kasih sudah menjembatani komunikasi antara kami (komunitas kristen) dan teman-teman muslim. Sehingga kami bisa merayakan Natal kami tahun ini”.

https://www.facebook.com/wahidfoundation/videos/1610717372323851/?q=Wahid%20Foundation%20natal

Bagi saya, tak ada yang lebih membahagiakan, selain menjadi bagian dari alasan kebahagiaan orang lain. Kata Gus Dur, tak penting apa agamamu, yang terpenting adalah bagaimana kau berbuat baik pada orang lain di sekitarmu.