Kisah Buya Hamka dan Bisyaroh Maupun Gaji yang Enggan Ia Terima dari MUI

Kisah Buya Hamka dan Bisyaroh Maupun Gaji yang Enggan Ia Terima dari MUI

Ini merupakan kisah Buya Hamka dan bagaimana ia enggan terima gaji

Kisah Buya Hamka dan Bisyaroh Maupun Gaji yang Enggan Ia Terima dari MUI

Buya Hamka yang bernama lengkap Abdul Karim Amrullah Datuk Indomo adalah ulama, novelis dan budayawan. Namanya masyhur dalam sejarah, tapi bukan hanya itu saja ia dikenal.

Ketua umum pertama MUI itu tidak hanya dikenal sebagai seorang ulama dengan banyak karya, tapi juga kisahnya yang enggan dapat duit (bisyaroh) dalam kegiatan organisasinya.  Buya Hamka lahir di Tanah Sirah, Sumatera Barat, pada 17 Februari 1908. Hamka merupakan nama pena yang merupakan singkatan dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah.

Hamka berasal dari keluarga ulama. Ayahnya adalah Abdul Karim Amrullah atau biasa dipanggil Haji Rasul, pembaru Islam di Minangkabau.

Hamka melangkahkan kaki ke Pulau Jawa pada 1924 dan bertemu dengan para tokoh bangsa seperti Bagoes Hadikoesoemo, Tjokroaminoto, Abdul Rozak Fachruddin, dan Suryopranoto.

Ia juga bertemu dengan tokoh-tokoh Masyumi, seperti Ahmad Hassan dan Mohammad Natsir.

Pada 1927, untuk memperluas pengetahuan agama dan mendalami bahasa Arab sekaligus beribadah haji, Hamka pergi ke Makkah.

Di sana, ia bertemu dengan Agus Salim, seorang ulama dan tokoh Indonesia, yang memintanya untuk kembali ke tanah air.

Ketika masa revolusi berkecamuk, Hamka juga ikut menjadi ‘api’ dalam pergerakan dengan khutbah-khutbahnya.

Ia digambarkan sebagai seorang jurnalis yang ikut bergerilya sebagai penghubung antara ulama dan pejuang.

Buya Hamka dikenal publik lewat ceramah dan pelbagai tulisannya, mulai dari buku tasawuf agama hingga novel.

Jadi Ketua MUI, Enggan Terima Gaji ataupun Bisyaroh

Pada 26 Juli 1975, Buya Hamka terpilih menjadi ketua MUI pertama. Penulis novel Di Bawah Lindungan Ka’bah itu merasa kurang ‘ulama’ jika dibandingkan dengan para ulama lain.

Meski begitu, Buya Hamka tetap dipilih karena faktor keulamaan dan popularitasnya.

Akhirnya, ia pun menerima amanah tersebut. Dalam pidatonya usai dilantik, Buya Hamka mengatakan dirinya bukanlah sebaik-baik ulama, meskipun ia populer di publik.

Ketika menjabat sebagai pimpinan, ia enggan digaji oleh organisasi yang dipimpinnya.

Bahkan ketika akan digaji oleh pemerintah yang waktu itu mendukung MUI, ia tegas menolaknya sebagai bagian untuk menjaga independensi keulamaan.

Mohammad Ghanoe dalam Dunia Batin Buya Hamka mengisahkan, sikap Buya Hamka seperti ini yang membawa citra positf MUI di kalangan umat.

Ia membawa MUI sebagai lembaga yang independen dan dianggap mewakili umat Islam dan ormas-ormas.

“Buya Hamka berhasil membangun citra positif MUI sebagai lembaga independen dan berwibawa untuk mewakili suara umat Islam,” tulis Mohammad Ghanoe dalam Dunia Batin Buya Hamka pada halaman 114.

Sejarah mencatat, MUI pernah berseberangan dengan pemerintah dan membuat kontroversi di zaman itu hingga membuat Buya Hamka mundur.

Pengunduran itu terkait dengan pro-kontra tentang larangan Natal yang dikeluarkan MUI pada tanggal 7 Maret 1981 yang waktu itu dianggap berseberangan dengan pemerintah.

Sosok ulama yang menulis novel legendaris Tenggelamnya Kapal van Der Wijck itu berpulang pada hari Jumat, 24 Juli 1981 pukul 10:37 WIB dalam usia 73 tahun.

Ia dikuburkan di TPU Taman Kusir, Jakarta Selatan.

Namanya abadi sebagai ketua MUI pertama, ulama, dan sastrawan yang juga dinobatkan sebagai pahlawan nasional.