Kisah Bilal ibn Rabah dan Adzan Terakhir (Bagian 2-Habis)

Kisah Bilal ibn Rabah dan Adzan Terakhir (Bagian 2-Habis)

Suara Bilal kian parau, sedikit terisak. Pipinya sudah basah oleh titik-titik air. Ia menangis tersedu-sedu menahan sesak di dada dan tak kuat lagi meneruskan adzan

Kisah Bilal ibn Rabah dan Adzan Terakhir (Bagian 2-Habis)

Subuh, Senin pagi tanggal 12 Rabiul Awal tahun kesebelas Hijriah, kabar buruk tentang kondisi Rasulullah yang memburuk membuat para sahabat cemas, termasuk Bilal. Setelah menunggu sekian lama, tidak ada tanda-tanda bahwa Nabi akan keluar. Maka, Abu Bakar maju ke depan untuk mengimami salat. Sesaat kemudian, tabir kamar Rasulullah terbuka. Tampak beliau berdiri di sana  melihat para sahabat di dalam masjid. Beliau lantas tersenyum.

Para sahabat pun senang melihat beliau akhirnya muncul  dan berharap kondisi Nabi membaik, serta bisa mengimami salat. Abu Bakar pun sudah hendak melangkah mundur jikalau Nabi tidak segera memberi isyarat kepadanya untuk melanjutkan salat. Beliau lalu masuk kembali ke dalam kamarnya dan menurunkan tabir. Itulah saat-saat terakhir para sahabat melihat Nabi, karena pada hari itulah beliau menghembuskan nafas terakhirnya.

Bagi Bilal, hari di mana Rasulullah wafat adalah hari yang paling mempengaruhi jalan hidupnya. Sejak hari itulah ia bertekad untuk tidak mengumandangkan adzan lagi. Ia sungguh berat menanggung rasa rindu yang menggebu-gebu sehingga membuatnya terhenti saat menyerukan adzan. 

Ia meminta izin kepada Abu Bakar untuk berhenti dari profesinya sebagai muadzin. Abu Bakar pun mengabulkan permintaannya. Setelah itu, Bilal pergi ke Syam. 

Hal itu dilakukannya karena ia tidak mampu menahan perasaan rindu yang menggelora. Selama masih tinggal di kota Madinah, maka ia tidak akan bisa lari dari kenangan bersama Rasulullah.Tapi, kali ini, Bilal  justru merasakan kerinduan itu semakin dalam dan besar. 

Begitu pula kerinduan yang melingkupi perasaan para sahabat Nabi yang pernah hidup sezaman dengan beliau, sehingga mereka meminta Sayyidana Umar bin Khattab untuk menjemput dan memintanya agar bersedia mengumandangkan adzan sekali lagi.

Bilal pun sebenarnya ingin bernostalgia dengan masa-masa silam yang sangat indah itu. Dan ia sadar, inilah saatnya menumpahkan rasa kerinduan itu. Bukankah para sahabat yang lain juga merasakan hal yang sama?

Bilal tercenung sejenak sementara Umar bin Khattab. sedang menunggu jawaban darinya. 

“Baiklah, aku akan melakukannya lagi,” jawab Bilal.

Maka pergilah Bilal menuju kota Madinah, kota yang memiliki sejuta makna dan kenangan bersama Nabi yang sangat dicintainya. Sesampainya di Madinah, ketika waktu salat telah tiba, Bilal segera menyerukan adzan. Ia mengambil nafas dalam-dalam. Sejurus kemudian, suara merdunya yang sangat khas dan tiada bandingannya terdengar kembali mengudara dibawa lari oleh angin padang pasir yang berhembus cepat.

Allahu akbar…Allahu akbar

Suara lantang sang muadzin Rasul menggema ke semua penjuru kota. Seketika orang-orang yang mendengar lantunan adzan itu terdiam. Mereka terhenyak. Meraka serasa kembali ke masa Rasulullah. Apakah Rasulullah kembali? 

Allahu akbar…Allahu akbar… 

Bilal lebih mengeraskan suaranya.

Asyhadu allaa ilaaha illallah…Asyhaduallaa ilaaha illallah… 

Bilal benar-benar menjiwai lafadz demi lafadz yang diucapkannya. Orang-orang mulai menyadari bahwa tak lain dan tak bukan suara itu adalah milik Bilal, muadzin Rasulillah.

Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah…

Akhirnya tibalah Bilal pada lafadz tersebut. Suaranya yang menggema kini terdengar parau. Dadanya bergetar penuh kerinduan. Bilal terisak menyebutkan nama orang yang paling dicintainya. Hatinya bergemuruh hebat. Tanpa terasa, air matanya meleleh begitu saja. Sekelebat kenangan melintas cepat dalam ingatan Bilal.    

Ia teringat sosok Rasulullah, bagaimana saat ia pertama kali disuruh mengumandangkan adzan di Masjid Nabawi, disuruh naik ke atas Ka’bah dan mengumandangkan adzan di hadapan beribu-ribu orang saat Fathil Makkah. Juga bagaimana ia mengikuti setiap perjalanan Nabi dan mengumandangkan adzan setiap waktu salat tiba atau ketika saat ketika ia berdiri di depan tabir kamar Rasulullah untuk memberitahu salat akan didirikan. 

“Asyhadu anna… Muham..madan…Rasulullah…” 

Suara Bilal kian parau, sedikit terisak. Pipinya sudah basah oleh titik-titik air. Ia menangis tersedu-sedu menahan sesak di dada dan tak kuat lagi meneruskan adzan itu.

Sementara itu, seluruh penduduk kota Madinah yang mendengar lantunan adzan Bilal merasakan hal yang sama. Sungguh saat-saat selama adzan berlangsung sama persis dengan saat-saat Rasulullah masih hidup dan hadir di antara mereka. Apalagi setelah mendengar suara parau Bilal saat menyebut nama agung tersebut dalam lantunan adzan.

Pada hari itu kota Madinah serasa menangis, menghayati kerinduan yang telah lama mereka pendam. Semuanya karena satu hal, rasa cinta yang begitu besar pada sosok Rasulullah dan rasa rindu yang begitu mendalam, sehingga cukup disebut namanya saja maka semuanya menangis mengharu biru.

Sejak hari itu, sahabat Bilal tidak pernah mengumandangkan adzan lagi.[habis]

Sumber bacaan: Sahih Bukhari, Fathul Bari, Siyar A’lam an-Nubala, Mu’jam ash-Shahabah lil baghawi, Tadzhibut Tahdzib lidz-Dzahabi

Faris Maulana Akbar adalah mahasantri Pesantren Ilmu Hadis Darus-Sunnah Ciputat.