Rasulullah berjalan melewati tempat itu tiap hari, salah satu satu jalan di Kota Makkah dan berada di jalur Ka’bah. Saban beliau lewat sana, terkadang sendirian dan tak jarang bersama dengan para sahabat, ada seorang ada seorang penduduk Makkah dari suku Quraisyi yang mengolok-olok Rasulullah. Rumah orang itu berada tepat di tepi jalan.
Saking bencinya orang itu kepada cucu Abdul Mutholib itu, tak jarang dengan suara yang sengaja dikeraskan, ia mengumpat-umpat dan memaki beliau. Bahkan tak jarang meludah ke tanah. Seolah-olah Rasul merupakan pesakitan dan orang yang menjijikkan, serta pantas untuk dihina. Tentu saja hal itu membuat para sahabat berang.
Beberapa sahabat pun bahkan mengadu dan menawarkan diri untuk membuat jera orang tersebut. Tapi, Rasulullah hanya tersenyum. Beliau melarang, cenderung membiarkan saja. Bahkan terkesan sangat cuek.
Tetap saja beliau berjalan seperti biasa dan orang itu senantiasa melakukan pekerjaannya; mengumpat, mengejek dan menghina beliau. Hal itu terjadi terus menerus tanpa henti.
Hingga pada satu hari, ketika beliau lewat, ia tidak lagi mendengar suara orang tersebut. Hal itu membuat Rasul heran. Ia pun berpikir, barangkali orang tersebut sedang ada keperluan lain.
Di hari berikutnya, kembali Rasul berjalan ke sana dan beliau tidak lagi mendapati suara makian yang kerap beliau dengar. Beliau merasa agak aneh, lalu meminta kepada para sahabat untuk menjenguk orang tersebut. Beliau khawatir orang tersebut sakit atau apalah.
Lalu, berangkatlah sahabat untuk menemui orang tersebut. Sebelumnya mereka heran, Lha wong orang yang kerap menghina beliau kok ya malah disuruh mengunjungi toh. Sesampainya sampai, mereka mendapati bahwa orang tersebut sedang sakit. Mereka pun kembali dan melaporkan apa yang dilihat.
Singkat cerita, Rasulululah lalu mengunjungi orang tersebut. Setelah sampai, beliau masuk rumah dan langsung melihat sesosok tubuh tak berdaya terbaring. Dipegang tangan orang itu dengan tulus dan didoakan.
Orang itu pun bangun dan terkaget karena sekarang orang yang kerap ia hina dan ia maki selama ini sudah berada di depannya. Duduk dan memegang tangannya dengan penuh kasih sayang, tampak tiada dendam sedikit pun.
Ia menangis, lalu berusaha untuk sujud di kaki Rasul, tapi ditahan. Beliau hanya tersenyum. Lalu berkata: “Ya Muhammad, aku telah menghinamu, membencimu dengan segenap hatiku. Tapi kau berlaku begini kepadaku. Sedangkan orang-orang terdekatku saja tak ada satupun yang menjengukku. Tapi Engkau…”
Ia pun sesenggukan. Rasululllah tersenyum dan mendoakan kembali orang itu.
“Sungguh mulia hatimu. Hari ini aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Engkau (Muhammad) adalah utusan-Nya,” tuturnya seraya memegang tangan Rasul.