Abu Amr al-Kindi suatu ketika pernah menceritakan perihal bangsa Romawi yang pernah menyerang sekawanan kerbau, yang dimiliki oleh salah satu kekasih Allah Swt yaitu Basyir at-Thabari. Abu Nu’aim al-Asfahani dalam Hilyatul Auliya’ wa Tabaqat al-Asfiya’, menggambarkan bahwa Basyir at-Thabari adalah orang yang menerima apa yang diujikan kepadanya, dan selalu berserah diri atas cobaan yang menimpanya. Dan beliau tinggal di Syam.
Ketika tentara Romawi menyerang kawanan kerbau Basyir at-Thabari, kira-kira jumlah kerbaunya pada saat itu berjumlah sekitar empat ratus ekor. Kemudian, Abu Amr al-Kindi, Basyir at-Thabari dan anaknya mengendarai kerbau-kerbau tersebut. Lalu, para budak Basyir at-Thabari menemuinya karena mereka adalah orang-orang penjaga kerbau pada saat itu. Namun, di antara budak-budak tersebut ada orang yang berkhianat, dan berkata, “Wahai tuan kami, kerbau-kerbau itu telah kabur.” Padahal dari kawanan kerbau itu tidak ada yang kabur.
Mendengar laporan tersebut, Basyir at-Thabari lalu berkata, “Kalian juga pergilah bersama mereka. Kalian merdeka karena Allah.”
Anaknya yang mendengar perkataan Basyir at-Thabari sontak berkata, “Wahai ayahku. Engkau telah membuat kita fakir!”
Mendengar ucapan anaknya yang seperti itu, Basyir at-Thabari pun berkata, “Diamlah wahai anakku. Sesungguhnya Tuhanku sedang mengujiku, maka aku inginkan Dia menambahnya.”
Mengikhlaskan sesuatu yang kita miliki adalah perbuatan yang sangat sulit, apalagi jika yang hilang berupa harta benda yang berharga. Atau sesuatu yang kita sayangi dan kita cintai. Karena hal terberat adalah mengikhlaskan diri, untuk menerima sesuatu yang pahit. Contohnya adalah terhadap orang-orang yang awalnya kita percaya, justru malah berkhianat. Dan hal tersebut tentu tidaklah mudah.
Namun itulah cobaan dari Allah Swt kepada hamba-Nya, karena ketika hamba yang diberi cobaan tersebut ikhlas dan ridha. Tentu Allah Swt akan menggantinya dengan yang lebih baik dari yang dimiliki sebelumnya.
Kisah Basyir at-Tabari memberikan kita pelajaran, supaya dalam diri manusia terdapat sifat ikhlas dan ridha. Seorang manusia beriman, sudah seharusnya selalu mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Menguatkan cintanya kepada yang selalu memberi rahmat dan karunia. Sehingga, ketika sedang ditimpa musibah akan menjadikan dirinya ikhlas dan ridha. Sebab hal tersebut sudah menjadi ketetapan Allah Swt. Namun, dibalik ketetapan Allah Swt tersebut tentu ada ketetapan lain yang lebih baik untuk para hamba-Nya.
Oleh karena itulah, jangan pernah merasa memiliki secara berlebihan terhadap suatu benda, hewan atau perhiasan dunia lainnya. Karena, sewaktu-waktu Allah Swt bisa mengambilnya. Misalnya yang asalnya kaya mendadak menjadi miskin, karena sering tidak ikhlas ketika beramal. Sehingga, Allah Swt pun memberi cobaan kepadanya. Supaya ia kembali ingat kepada sang pencipta.
Dan sudah seharusnya rasa memiliki yang ada dalam diri manusia terhadap perhiasan dunia, jangan sampai mengalahkan rasa memiliki terhadap Tuhannya. Sehingga dengan hal tersebut, manusia bisa menjadi ikhlas dan ridha. Ridha sendiri ada dalam diri manusia, jika kebahagiannya dalam menyambut musibah sama seperti menyambut nikmat, sebagaimana yang diungkapkan oleh Rabi’ah al-Adawiyah dalam Qutul Qulub karya Abu Thalib al-Makki.
Karena ikhlas dan ridha itu berat, kita bisa mulai belajar mengikhlaskan sesuatu yang sifanya kecil terlebih dahulu. Karena dibalik sebuah ujian, dan cobaan yang Allah Swt berikan kepada hamba-Nya, tentu ada nikmat yang akan diberikan, dan lebih besar serta lebih baik dari sebelumnya. Maka jadilah ikhlas dan ridha, sebagaimana ikhlas dan ridhanya Basyir at-Thabari.