Dikisahkan dalam kitab Fathul Majid karya Syekh Nawawi Al-Jawi terdapat seorang ulama yang memiliki ilmu luas dan tiada bandingnya, namanya Dahriyah. Ulama ini hidup di masa Imam Abu Hanifah masih kecil, yaitu sekitar umur beliau sekitar 7 tahun.
Seluruh ulama pada waktu itu tidak mampu menandinginya saat berdebat, terutama dalam bab tauhid. Oleh karena itu, dia merasa paling pintar, sehingga muncullah sifat sombong. Saking sombongnya, ia sampai berani mengatakan bahwa Allah SWT itu tidak ada. Namun sayang, tak ada ulama yang mampu mengalahkannya dalam perdebatan.
Pada suatu pagi dikumpulkanlah para ulama di suatu majlis milik Syekh Himad, guru Imam Abu Hanifah. Pada hari itu, Imam Abu Hanifah yang masih kecil ikut hadir di majlis tersebut.
Dahriyah yang ikut hadir di majlis tersebut langsung naik ke mimbar dan berkata dengan sombongnya, “Siapakah di antara kalian para ulama yang akan sanggup menjawab pertanyaanku?”
Mendengar ucapan tersebut, sejenak suasana hening, para ulama semuanya diam, namun tiba-tiba Imam Abu Hanifah berdiri dan berkata, “Pertanyaan apa? Maka siapa pun yang tahu, pasti akan menjawab pertanyaanmu.”
Dahriyah yang melihat hal tersebut, kemudian berkata, “Siapa kamu wahai anak ingusan, beraninya kamu bicara denganku. Tidakkah kamu tahu, bahwa banyak yang bersorban, berumur tua, para pejabat, para pemilik jubah kebesaran. Mereka semua kalah dan diam dari pertanyaanku, kamu masih ingusan dan kecil badan berani menantangku!”
Imam Abu Hanifah kemudian menimpali ucapan Dahriyah yang begitu sombong, “Allah SWT tidak menyimpan kemuliaan dan keagungan kepada pemilik sorban yang besar dan para pejabat, akan tetapi kemuliaan hanya diberikan kepada ulama.”
Kemudian Dahriyah bertanya kepada Imam Abu Hanifah, “Apakah kamu akan menjawab pertanyaanku?
Imam Abu Hanifah menjawab, “Ya, aku akan menjawab pertanyaanmu dengan taufiq Allah SWT.”
Dahriyah pun memberikan pertanyaan kepada Imam Abu Hanifah, “Apakah Allah SWT itu ada?” Imam Abu Hanifah menjawab, “Iya, ada”. Dahriyah bertanya lagi, “Di mana?” Imam Abu Hanifah menjawab, “Dia, tiada tempat bagia Dia”.
Dahriyah kembali bertanya kepada Imam Abu Hanifah, “Bagaimana bisa disebut ada bila dia tidak punya tempat?” Imam Abu Hanifah menjawab, “Dalilnya ada di badan kamu, yaitu ruh. Saya tanya, kalau kamu yakin ruh itu ada, maka di mana tempatnya? Di kepalamu, di perutmu atau di kakikmu?”
Mendengar jawaban tersebut, Dahriyah diam seribu bahasa dengan muka malu. Lalu Imam Abu Hanifah minta air susu kepada gurunya Syekh Himad, dan dia balik bertanya kepada Dahriyah, “Apakah kamu yakin di dalam susu ini ada manis?” Dahriyah menjawab, “Ya, saya yakin di susu itu ada manis”
Imam Abu Hanifah lalu bertanya kembali, “Kalau kamu yakin ada manisnya, saya tanya apakah manisnya ada di bawah, atau di tengah, atau di atas?” Lagi-lagi Dahriyah diam dengan rasa malu dan kemudian Imam Abu Hanifah menjelaskan, “Seperti ruh atau manis yang tidak memiliki tempat, maka seperti itu pula tidak akan ditemukan bagi Allah SWT tempat di alam ini, baik itu arsy atau dunia ini.”
Dahriyah pun bertanya lagi kepada Abu Hanifah, “Sebelum Allah SWT itu apa dan setelah Allah SWT itu apa?”
Imam Abu Hanifah kemudian menjawab, “Tidak ada apa-apa sebelum dan sesudahnya Allah SWT.” Dahriyah masih belum terima dan berkata, “Bagaimana bisa dijelaskan bila sebelum dan sesudahnya tidak ada apa-apa?”
Imam Abu Hanifah menjawab, “Dalilnya ada di jari tanganmu, apakah ada sesuatu sebelum jempol dan setelah kelingking? Apakah kamu bisa menerangkan mana yang lebih dahulu, jempol duluan atau kelingking duluan? Demikianlah sifat Allah SWT, ada sebelum semuanya ada dan tetap ada bila semua tiada. Itulah makna kalimat ada bagi Allah SWT”.
Lagi-lagi Dahriyah dipermalukan. Namun ia belum menyerah, ia kemudian mengajukan pertanyaan lagi, “Apa perbuatan Allah SWT sekarang ini?” Imam Abu Hanifah menjawab, “Perbuatan Allah SWT sekarang adalah menjatuhkan orang yang tersesat seperti kamu, ke bawah jurang neraka dan menaikkan yang benar seperti aku, ke atas mimbar keagungan.”
Sungguh maha suci Allah SWT yang menyelamatkan aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah melalui seorang anak kecil, yaitu Imam Abu Hanifah. Sebagaimana kita ketahui, saat besar Imam Abu Hanifah menjadi salah satu pendiri madzhab fikih dan dikenal sebagai seorang ulama besar dalam sejarah peradaban Islam. Beliau sejak kecil sudah mempunyai kecerdasan yang luar biasa dan mampu membungkam ulama yang sombong.
Oleh karena itulah, walaupun punya banyak ilmu jangan berlagak sombong. Karena di atas ilmu masih ada ilmu dan di atas langit masih ada langit.