Dalam kitab Ihya` Ulumiddin karya Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H), terdapat kisah biarawan (rahib) yang masuk Islam di tangan sufi.
Hidayah merupakan salah satu nikmat luar biasa yang tidak didapatkan semua orang. Terkadang, datangnya tidak bisa ditebak, begitu juga hal-hal yang menjadi perantara sampainya hidayah kepada seseorang. Siapa yang menyangka bahwa Umar bin Khattab yang mulanya berniat membunuh Nabi Muhammad SAW justru berakhir dengan masuk Islam di tangan Nabi sendiri, tepatnya setelah mendengar lantunan ayat-ayat Al-Qur’an yang sedang dibaca oleh anaknya.
Alkisah, pada suatu hari sekelompok sufi bertemu seorang biarawan Perlu diketahui bahwa biarawan memiliki kebiasaan yang hampir sama dengan sufi, seperti kebiasaan mereka dalam hidup sederhana. Mereka juga terkenal akan keteguhan dalam berpegang pada keyakinannya.
Sekelompok sufi tersebut memiliki keinginan agar sang biarawan masuk Islam dan meninggalkan keyakinan yang dipeluknya. Maka, mereka mulai membicarakan banyak hal kepada sang biarawan dengan tujuan membuatnya tertarik masuk Islam. Setelah sekian lama, akhirnya sang biarawan menanggapi mereka. Dengan bangga, ia mengisahkan bahwa Nabinya, Al-Masih, pernah menahan lapar sepanjang 40 hari lamanya, dan itu merupakan mukjizat yang hanya dimiliki seorang Nabi.
Merasa tertantang dengan cerita yang dituturkan oleh biarawan, salah seorang sufi kemudian mengajukan kesepakatan kepadanya bahwa jika sang sufi mampu menahan lapar hingga 50 hari, maka sang biarawan harus meninggalkan keyakinannya dan masuk Islam, serta harus mengakui bahwa Islam adalah haqq dan keyakinannya adalah batil. Sebaliknya, jika ternyata sang sufi tidak mampu melakukannya, maka ia yang harus memeluk keyakinan sang biarawan.
Singkat cerita, sang biarawan menyetujui kesepakatan tersebut. Mereka pun hidup berdampingan selama sang sufi menjalankan puasa sesuai dengan kesepakatan. Hingga tibalah hari ke-50, sang sufi sukses melewati semua hari dengan menahan lapar. Namun, ternyata sang biarawan masih belum puas, ia meminta sang sufi melanjutkan hingga hari ke-60.
Sang sufi tetap mampu melewatinya. Sang biarawan pun takjub, ia berkata: “Aku tidak pernah menyangka bahwa ada seseorang yang mampu menyamai Al-Masih (dalam hal menahan lapar).” Sesuai dengan kesepakatan, sang biarawan pun masuk Islam.
Demikianlah kisah masuk Islamnya seorang biarawan melalui perantara seorang sufi. Meski nampak terdapat keterpaksaan, dalam arti terdapat kesepakatan yang mengharuskan sang biarawan masuk Islam, namun pertemuannya dengan sekelompok sufi tetap menunjukkan bahwa jalan menuju hidayah tidak pernah disangka-sangka.
Wallahu a’lam.