Abu Turab an-Nakhsyabi merupakan murid Hatim al-Asham dan Ar-Razi al-Madzbuh, di mana dari mereka berdua Abu Turab banyak belajar tentang akhlak. Beliau juga termasuk ke dalam orang-orang yang dikenal bertawakkal, dan menjadi imam bagi orang-orang yang selalu berpasrah diri kepada Allah Swt. Dalam hidupnya, Abu Turab banyak melakukan riyadhah atau tirakat yang menjadikan dirinya dicintai oleh Allah Swt. Selain itu, Abu Turab juga pernah belajar di Asbahan (Isfahan) kepada Abdullah bin Muhammad bin Zakariya, dan ketika di Makkah beliau banyak menimba ilmu kepada Muhammad bin Abdullah bin Yusuf.
Abu Nu’aim al-Asfahani dalam Hilyatul Auliya’ wa Tabaqat al-Asfiya’ mengisahkan dari kisah yang dituturkan oleh Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Kisa’i al-Muqri. Bahwasanya al-Muqri pernah duduk di sisi Ibnu Abi Ashim, dan di saat itu dia sedang bersama beberapa orang.
Tiba-tiba ada seorang laki-laki datang dan berkata kepadanya, “Wahai orang yang bermaksiat, telah sampai kepada kami bahwa terdapat tiga orang yang ada di gurun pasir sedang membolak-balikkan pasir. Salah seorang dari mereka bertiga lalu berkata, “Ya Allah. Sesungguhnya Engkau mampu memberi makan kami dengan kue seperti warna pasir ini.”
Tidak lama kemudian, datanglah seorang laki-laki badui yang membawa sebuah nampan. Laki-laki badui tersebut lalu mengucapkan salam kepada mereka bertiga, dan meletakkan nampan yang di atasnya terdapat kue yang masih panas. Kue panas tersebut lalu diberikan kepada ketiga orang tersebut, yaitu Abu Turab, Utsman bin Shakr az-Zahid dan Ahmad bin Amr bin Abu Ashim.
Dan suatu ketika, dalam sebuah perjalanannya, Abu Turab pernah tidak mempunyai keinginan apapun kecuali beliau hanya ingin roti dan telur. Akhirnya Abu Turab pun mengalihkan jalannya menuju suatu desa. Dan ketika memasuki desa yang beliau tuju, datanglah seorang laki-laki yang menghampiri Abu Turab.
Sang laki-laki tiba-tiba memegangi Abu Turab layaknya menangkap seorang pencuri, lalu memukulnya. Orang tersebut lantas berkata, “Orang inilah yang bersama pencuri itu!” Sontak penduduk desa yang ada di situ memukul dan melukai Abu Turab, sebanyak tujuh puluh kali cambukan.
Ketika Abu Turab dalam keadaan dipukuli, datanglah seorang laki-laki dan berkata, “Ini adalah Abu Turab.” Mendengar perkataan tersebut, orang-orang yang memukuli Abu Turab memohon maaf kepadanya lalu membantu Abu Turab untuk berdiri.
Sang laki kemudian membawanya ke dalam rumahnya, ia kemudian menghidangkan makanan berupa roti dan telur. Melihat makanan tersebut, Abu Turab lalu berkata, “Aku dapatkan ini semua setelah dicambuk sebanyak tujuh puluh kali.”
Selepas kejadian tersebut, Abu Turab kemudian bewasiat bahwasanya seorang guru harus bisa membedakan empat hal. Pertama, yaitu bisa membedakan antara perbuatan Allah Swt dan perbuatan makhluk. Kedua, harus mengetahui tingkatan orang-orang yang beramal. Ketiga, harus mengetahui karakter dan jiwa. Keempat, harus bisa membedakan antara tidak setuju dan tidak sepaham.
Dalam perkataannya, Abu Turab an-Nakhsyabi juga berwasiat tentang tiga hal yang dicintai manusia padahal tiga hal tersebut bukan untuknya. Ketiga hal tersebut adalah manusia yang mencintai jiwa, padahal dia adalah milik Allah Swt. Kemudian mereka yang mencintai harta, padahal harta itu milik ahli waris. Dan ketiga, manusia selalu mencari dua hal yang tidak pernah didapati keduanya, yaitu kebahagiaan dan ketenangan karena kedua hal tersebut hanya ada di surga.
Karena pada dasarnya, dunia adalah rumah kesedihan, bencana dan fitnah. Maka tidak sepantasnya kita berlebih-lebihan dalam mencintai sesuatu. Sebab itu semua adalah titipan. [rf]