Imam Abu Hanifah adalah sosok paling kawakan di antara para imam madzahib al-arba’ah (mazhab yang empat: Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah). Bernama lengkap Nu’man ibn Tsabit ibn Zutha, dia lahir pada tahun 80 Hijriyah di salah satu kota tersohor di negeri Irak. Kota itu bernama Kufah, terletak 10 km timur laut kota Najaf dan 170 km sebelah selatan ibu kota Irak, yakni Baghdad. Di kota Baghdad jua dia mengembuskan nafas terakhir 70 tahun kemudian.
Suatu hari ketika dia bersama sejumlah muridnya melewati beberapa rumah di sela-sela perkampungan. Saat itu terik cuaca panas sehingga dia dan rombongannya berjalan di bawah naungan atap-atap rumah penduduk. Namun, di kala Abu Hanifah menjelang atap rumah yang ke sekian, tiba-tiba saja dia menghindari bayangannya.
Baca Juga: Abu Hanifah, Imam Mazhab yang Masih Tetap Berwirausaha
Lantaran penasaran atas tingkah Abu Hanifah itu, salah seorang muridnya menanyainya, “Mengapa engkau menghindar dari atap rumah itu? Padalah sedari tadi kita selalu berjalan menyusuri perkampungan ini seraya bernaung di bawah bayang atap-atap rumah penduduk?”
Abu Hanifah menjawab, “Karena orang yang punya rumah itu punya hutang ke saya. Saya khawatir karena saya bernaung di bawah bayangan atap rumahnya itu saya terbilang mengambil manfaat dari barang milik debitur saya.” Sungguh luar biasa!
Lugasnya, Abu Hanifah tidak ingin termasuk pelaku riba. Sebagaimana kutipan hadis, kullu qardhin jarra manfa’atan fahua riban (setiap utangan yang menyebabkan adanya pengambilan manfaat oleh pemiutang adalah riba). Meskipun sebenarnya hal itu terkategori barang sepele yang dapat dipastikan kerelaan dari si pengutangnya. Tetapi, tetap saja dia berusaha menghindarinya.
Wallahu A’lam.