Salah satu ‘anggota’ sab’aturrijal (Wali Tujuh) Marrakech yang terkenal dengan karomah-karomahnya adalah As-Sibti, begitulah para penduduk Marrakech menyebutnya. Dalam kitab Tarikh al-Islam karya Syams ad-Din Qaymaz disebutkan bahwa nama lengkapnya adalah Ahmad bin Ja’far al-Khazraji. Az-Zarkali dalam Al-A’lam menyebutkan, beliau kelahiran kota sibta (ceuta), sebuh pulau dekat maroko yang menjadi wilayah spanyol, tahun 524 H (1130 M) di akhir era dinasti Murabithin. Dalam At-Tasyawuf ila Rijali at-Tasawuf disebutkan bahwa beliau lahir pada hari senin, 3 jumadil akhir.
Syekh Talidi, dalam kitab Al-Muthrib menyebutkan bahwa As-Sibti memiliki bentuk fisik rupawan, berkulit putih, berpakaian apik, fasih bicaranya dan menguasai pembicaraan hingga seakan-akan tidak ada pertanyaan yang tidak dijawab oleh beliau. Lebih-lebih, lisannya berbicara menghadirkan al-Qur’an yang memukau para pendengarnya baik orang awam maupun orang khas. Disebutkan dalam At-Tasyawuf bahwa beliau juga dikenal sebagai orang yang lembut, sabar, dan berbuat baik kepada orang yang menyakiti beliau. Beliau juga dikenal sebagai orang yang baik kepada para anak yatim dan janda.
Pengembaraan, Khalwat dan Mazhab Sufi As-Sibti
Di Sibta, yang dikenal sebagai pulau penghasil para ulama, beliau tumbuh dan menghafalkan al-Qur’an di bawah bimbingan Sidi Abdullah Al-Fakhar, salah satu murid ‘Wali Tujuh’ lainnya, Qadi ‘Iyyadl. Di tangan beliau pula, As-Sibti belajar ilmu-ilmu agama lainnya sehingga menjadi orang yang alim dalam agama.
Thariq Al-‘Alami dalam salah satu tulisannya berjudul ‘Abu al-‘Abbas as-Sibti dan Mazhab Ihsannya’ yang dimuat oleh situs Ar-Rabithah al-Muhammadiyah li al-‘Ulama menyebutkan bahwa As-Sibti keluar dari Sibta untuk menuju Marrakech pada tahun 540 H ketika umurnya 16 tahun. Tahun tersebut adalah tahun-tahun jatuhnya dinasti Murabithin (Moravid) ke tangan kekuasaan dinasti Muwahhidin (Mohad). Di kota ini pula, beliau sempat khalwat (mengasingkan diri) selama 40 tahun di bukit Gueliz.
Di Marrakech inilah beliau kemudian dikenal sebagai wali Allah yang keilmuannya diakui oleh banyak orang, sehingga kemudian beliau menyebarkan ajaran-ajaran tasawufnya kepada masyarakat luas. Ajaran-ajaran atau mazhab tasawuf yang beliau pegang adalah mazhab yang bermuara kepada Al-Ghazali dan Abdul Qadir Al-Jilani. Mazhab Al-Ghazali beliau peroleh dari Abi Abdillah Al-Fakhar dari Qadli Iyyad dari Abi Bakr Ibn Al-‘Arabi dari Al-Ghazali, dan mazhab Abdul Qadir Al-Jilani beliau dapatkan dari Abi Abdillah al-Fakhar dari Ash-Shadafi dari Abdul Qadir Al-Jilani.
Sebagai seorang wali Allah, As-Sibti memiliki ajaran-ajaran khas tasawuf dalam beberapa hal. Di antaranya, seperti dikemukakan penulis At-Tasyawuf, Abu Ya’qub At-Tadli, bahwa beliau pernah hadir di majlis ilmu yang diasuh oleh As-Sibti. Beliau menyaksikan As-Sibti menjelaskan pokok-pokok ajaran syariat yang mendalam, di antaranya mengenai shalat. Mengutip As-Sibti, beliau mengatakan:
“Barangsiapa yang tidak memahami makna shalat, maka dia belum shalat. Bahwa awal shalat adalah takbiratul ihram, yaitu ketika anda mengangkat tangan sambil mengucapkan ‘Allahu Akbar’. Makna ‘Allahu Akbar’ adalah menahan diri dari segala sesuatu. Barang siapa yang melihat kenikmatan dunia di hatinya lebih besar, maka dia belum ihram (memulyakan Allah), dan tidak ada kesombongan di dalam shalat. Dan makna mengangkat tangan ketika takbir adalah ‘sungguh aku sudah meninggalkan semuanya untuk (menuju) Engkau (Allah)…”
Ajaran tasawuf beliau yang lainnya adalah ajaran pemaknaan ‘adil’ dan ‘ihsan’ dalam Q.S. An-Nahl [16]:90:
إِنَّ ٱللَّهَ يَأْمُرُ بِٱلْعَدْلِ وَٱلْإِحْسَٰنِ
Sesungguhnya Allah memerintahkan (kamu) untuk berbuat adil dan kebajikan…
As-Sibti memaknai ‘adl (adil) sebagai musyatharah, yakni membagi separuh-separuh, sama rata. Beliau berpendapat bahwa rasulullah mengajarkan umat Islam mengenai keadilan ketika Rasulullah mempersaudarakan kaum muhajirin dan kaum anshar yang diperlakukan sama rata oleh beliau. As-sibti memaknai demikian sehingga beliau memperlakukan orang-orang fakir sama dengan orang-orang beriman lainnya yang kaya. Oleh karena itu, beliau menyedekahkan separuh hati yang dimilikinya kepada orang-orang fakir selama 20 tahun.
Dengan demikian, arti ‘adil’ adalah separuh, dan ihsan (kebajikan) adalah memberi lebih dari itu. Maka, ihsan adalah perpaduan dari musyatharah dan itsar (mendahulukan yang lain). Yakni, memberikan separuh harta yang kita miliki sekaligus mendahulukan kepada yang membutuhkan dengan separuh lainnya. Dengan amalan tersebut, sebagaimana disebut Hasan Jallab dalam Sab’atu Rijali Murrakusy, beliau mendapatkan derajat kewalian.
Tak pelak, laku sufi yang dijalani oleh As-Sibti di kemudian hari mendapat pujian dari sufi besar ternama Ibnu ‘Arabi. Dalam karya agungya Al-Futuhat al-Makkiyah beliau mengatakan, “Aku memasuki kota Marrakech dan mendapati Abu al-‘Abbas as-Sibti menjadi wali Allah, melepaskan (ketergantungan) diri dari manusia, merendahkan diri kepada Allah, mengagkat derajat orang-orang fakir dan menyantuninya, dan mencegah kefakiran. Aku berandai-andai berada di posisi itu”.
Walinya Orang-orang Buta
Para penduduk kota Marrakech meyakini sebuah karomah yang beliau miliki sampai sekarang. Karomah yang dihasilkan lewat proses panjang mendekatkan diri kepada Allah dan berbuat ihsan kepada sesama manusia. Sedekah beliau, selain kepada orang-orang fakir, juga beliau lakukan kepada orang-orang buta. Sedekah ini beliau lakukan hingga akhir hayatnya bahkan diteruskan hingga sekarang oleh pemerintah kerajaan Maroko.
Beliau wafat di kota Marrakech, tanggal 3 jumadil akhir tahun 601 H/1129 M. Beliau dimakamkan di Bab Taghzout, Marrakech, beberapa ratus meter dari makam pengarang Dalail al-Khairat, Imam Al-Jazuli. Di depan komplek makam tersebut, kita akan mendapati orang-orang buta tersebut. Semoga kita bisa meneladani istiqomah beliau dalam ber-ihsan. (AN)
Wallahu a’lam.