Nama asli Abdul Muthalib adalah Syaibatul Hamdi, karena pada suatu hari ketika Hasyim hendak pergi berdagang ke Syam melalui jalan Madinah, Ia menikahi Salma binti Amr salah satu keturunan dari Bani ‘Adi bin Najar dan dikaruniai seorang anak bernama Syaibatul Hamdi. Kemudian Hasyim meninggalkan keduanya untuk melanjutkan perjalanan menuju Syam.
Sayangnya, Hasyim meninggal dalam suatu peperangan, dan Syaibatul Hamdi pun tinggal bersama Ibunya selama tujuh tahun. Kemudian Muthalib (saudara dari dari Hasyim) membawa Syaibatul Hamdi ke Mekkah dan orang-orang Mekkah pada saat itu mengira bahwa Syaibatul Hamdi merupakan budak dari Muthalib, sehingga Syaibatul Hamdi terkenal dengan nama Abdul Muthalib.
Abdul Muthalib mempunyai tanggung jawab besar setelah pamannya dalam urusan Ka’bah seperti Siqayah dan Rifadah, yaitu memberi minum para jamaah haji, yang diambil dari sumur-sumur di luar Makkah. Karena pada saat itu sumur zam-zam yang Allah karuniai kepada Nabi Ismail melalui hentakan kedua kakinya itu telah kering dan tidak diketahui lagi keberadaannya selama ribuan tahun.
Pada suatu hari, Mekah dilanda kekeringan yang mengharuskannya mencari solusi dari kekeringan tersebut, sebelum para jamaah haji datang untuk melaksanakan haji. Di tengah kebingungan yang Ia rasakan, Abdul Muthalib tidur di Hijr Ismail. Ia bermimpi ada sesorang yang menyuruhnya untuk menggali sumur zam-zam.
Ibnu Hisyam menjelaskan mengenai mimpi tersebut bahwa ketika Abdul Muthalib tidur di Hijr Ismail, beliau bermimpi ada seseorang yang mendatanginya kemudian berkata, “Galilah Thayyibah (Kebaikan)!” lalu ia bertanya, “Apa itu Thayyibah?” Namun orang itu pergi begitu saja.
Keesokan harinya ketika Abdul Muthalib sedang tidur, orang tersebut datang kembali untuk kedua kalinya seraya berkata, “Galilah Birrah (kebaikan)!” Abdul Muthalib masih tidak faham, ia menjawab, “Apa itu birrah?” Bukan malah menjawab, orang itu pergi begitu saja.
Lalu keesokan harinya orang tersebut datang untuk ketiga kali dalam mimpinya, “Galilah Madhnunah!” Abdul Muthalib kembali bertanya, “Apa itu Madhnunah?”. Orang itu pergi lagi tanpa memberi jawaban apapun.
Barulah hari keempat, orang misterius tersebut datang di mimpinya dengan perintah yang jelas, “Galilah zam-zam!” Namun demikian, kakek Rasul ini masih belum faham, ia pun bertanya kembali, “Apa itu zam-zam?”
“Air yang tidak kering dan tidak meluap, engkau dapat memberi minum para jamaah haji dengannya. Letaknya di antara kotoran dan darah, di paruh gagak yang tuli dan di sarang semut,” jawab si misterius.
Setelah mendapatkan titik terang mengenai letak dan keberadaan zam-zam, ia pun mulai menggali sumur zam-zam bersama para kabilah Quraisy.
Dalam proses penggalian zam-zam Abdul Muthalib menemukan banyak kesulitan baik dari segi penggaliannya yang sangat kering, disertai perdebatan dengan kaum Quraisy lainnya yang tidak setuju dalam penggalian sumur zam-zam, yang mereka anggap mereka juga berhak atas sumur nenek moyang mereka, yaitu Nabi Ismail AS. (AN)
Wallahu a’lam.