Eksistensi Santri hari ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Penetapan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional (HSN), spontan menepis prasangka masa lalu oleh sebagaian kalangan yang pernah menganggap bahwa pesantren merupakan wadah pengkaderan para aktivis Islam konservatif.
Kendatipun ketetapan Presiden RI ke-7, Joko Widodo tentang HSN bukan atas dasar asumsi yang demikian. Namun lebih kepada upaya meneladani kiprah para Kiai dan santri untuk kemerdekaan bangsa ini. Gelora resolusi Jihad KH. Hasyim Asy’ari yang terbukti mampu membakar semangat para santri dalam memperjuangkan kedaulatan bangsa ini, setidaknya merepresentasikan hal itu.
Semangat dari kiprah para kiai maupun santri masa lalu dalam berjihad mengawal kemerdekaan negeri ini, seyogyanya kita lestraikan dengan senantiasa menjaga dan merawat nilai-nilai perdamaian yang telah diwariskan para leluhur bangsa ini.
Menurut Dirjen Pendis Kemenag RI, Kamaruddin Amin, Islam Indonesia kontemporer yang demokratis, progresif, moderat, toleran, inklusif, dan apresiatif terhadap diversitas budaya dan agama tidak bisa dilepaskan dari kontribusi fundamental para santri (milenial). Dengan kata lain, perjuangan panjang tanpa henti para santri dalam mempromosikan moderasi Islam di tengah pluralitas budaya dan etnik yang sangat masif membuahkan hasil Indonesia yang damai, meskipun konflik komunal dan sporadis yang mengatasnamakan agama masih sering ditemukan.
Agen Perdamaian
Santri masa kini, selain bergelut dengan berbagai literatur keislaman juga diharapkan menjadi agen perdamaian di tengah ajakan kekerasan yang membajak agama serta berbagai potret ujaran kebencian atas nama agama pula.
Upaya demikian dapat kita simak misalnya pada bulan Agustus 2017 lalu, saat Indonesia ditunjuk sebagai tuan rumah Asian Youth Day. Dalam pertemuan kaum muda Katholik se-Asia di Yogyakarta itu, tidak sedikit rekan Muslim muda turut terlibat dan rata-rata adalah para santri yang mengkampanyekan kesantunan, perdamaian, dan toleransi Islam di Indonesia.
Selain itu, kiprah santri untuk semakin mewujudkan perdamaian dunia juga tidak terbatas sekat-sekat regional, alias lintas kawasan. Tidak sedikit bahkan para santri Indonesia yang mengepakkan sayapnya antar negara dan benua. Mereka berada di sana bukan dalam rangka menjalankan aksi militer, namun semata untuk pengembaraan intelektual tanpa kehilangan jati diri sebagai orang Indonesia yang beragama Islam.
Sementara, dalam konteks counter radicalism di media sosial, ada komunitas santri yang menamakan dirinya sebagai Arus Informasi Santri (AIS) Nusantara. Komunitas yang berisi para santri muda se-Indonesia ini selain berjejaring dan bersilaturahim, juga turut berkomitmen untuk melawan virus-virus hoax di media sosial yang dapat mengarah pada titik kejut tertentu berupa aksi terorisme.
Sebab itu, di tengah pergumulan peradaban yang berkemajuan di abad ke-21 ini, santri milenial mendapatkan beberapa tantangan tersendiri, yakni; tantangan agar tetap konsisten meneruskan perjuangan Kanjeng Nabi Muhammad dalam membumikan risalah rahmatan lil alamin, sekaligus menjadi agen-agen perdamaian dunia.