Telemarketing berasal dari kata tele, yang berarti jauh, dan marketing yang berarti pemasaran. Jadi, telemarketing merupakan sebuah istilah yang menggambarkan situasi dunia perdagangan atau niaga jarak jauh. Pertemuan antara pedagang dan konsumen difasilitasi oleh teknologi yang memperantarainya. Demikian pula, dengan unsur serah terima barang (taqabudh) juga mensyaratkan adanya keharusan teletaqabudl, yaitu serahterima jarak jauh. Faktor penjaminnya adalah bahwa barang itu harus sesuai dengan spesifikasi dan keamanan dalam shipping (pengapalan/ekspedisi).
Dalam dunia perdagangan konvensional, faktor penjamin kualitas barang secara umum diperankan oleh BPSK dan YLKI. BPSK merupakan kependekan dari Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Sementara YLKI adalah Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia. Dua badan ini ada dan berdiri sebagai bagian dari upaya melindungi hak konsumen dalam mendapatkan barang dan jasa yang dipesannya. Dari sudut pandang syariat, keberadaan dua badan ini menjadi faktor pengabsah perdagangan, disebabkan dalam perdagangan wajib ada jaminan kualitas, manfaat dan layanan. Tanpa adanya jaminan kualitas, manfaat, dan layanan (servis), maka sebuah perdagangan masuk unsur larangan dilakukan oleh nash. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لا يحل سلف وبيع ولا شرطان في بيع، ولا ربح ما لم يضمن، ولا بيع ما ليس عندك
Artinya:
“Tidak halal menggabungkan transaksi utang dan jual beli, dua syarat dalam satu transaksi, laba barang yang tidak bisa dijamin, dan jual beli sesuatu yang tidak ada disisimu (belum dapat engkau jamin).” HR. Ahmad
Nah, kedua lembaga (BPSK dan YLKI), adalah fasilitator konsumen saat ditemukan adanya gap antara kualitas barang / jasa dengan harga. Fasilitasi ini dilakukan dengan jalan aktifitas class action. Apa itu class action?
Class action merupakan sebuah prosedur untuk melakukan gugatan terhadap produsen atau konsumen kelas satu di luar pengadilan umum atau negeri. Itulah sebabnya, sifat keanggotaan dari BPSK dan YLKI adalah terdiri dari aparat pemerintah, tokoh masyarakat, pelaku usaha (produsen) dan konsumen yang ditunjuk oleh menteri. Dasar acuan hukumnya adalah UU Nomor 8, Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Wilayah sengketa yang ditangani oleh kedua badan ini, adalah mencakup sengketa barang dan sengketa jasa. Sengketa barang, dapat dilakukan manakala kualitas dan manfaat produk barang tidak sesuai dengan yang dijanjikan. Demikian pula, dengan ekses dari keberadaan barang, misalnya seperti adanya efek negatif barang bekas, berupa sampah elektronik atau limbah. Semua ini adalah bagian dari efek kerugian yang membutuhkan penanganan serta perhatian dari produsen / pelaku usaha. Untuk itu, melalui YLKI dan BPSK ini, tanggung jawab perusahaan / produsen dapat dituntut sehingga berbuah penyaluran CSR (Corporate Social Responsiibility) kepada masyarakat melalui lembaga yang berwenang atau pihak yang dipercayai oleh perusahaan.
Sengketa jasa terjadi manakala kualitas layanan ternyata tidak sebanding dengan yang ditawarkan. Suatu misal sering adanya gangguan layanan jasa PLN (Perusahaan Listrik Negara) atau Telekomunikasi, maka masyarakat bisa mengadukan kerugian akibat gangguan ini dengan difasilitasi oleh BPSK dan YLKI. Termasuk di dalamnya adalah menuntut ganti rugi (dlaman) sebagai risiko dari kerugian (dlarar) yang ditimbulkan.
Jadi, dalam syariat, keberadaan YLKI dan BPSK ini, garis besarnya adalah seolah berperan selaku menjamin produk yang dijualbelikan supaya tidak timbul unsur gharar (penipuan), jahalah (tidak tahu spec), ghabn (pengelabuan), serta dharar (kerugian), dan maisir (spekulatif / untung-untungan). Untuk produk syariah, sudah pasti YLKI dan BPSK juga bergerak menjaga hak konsumen untuk terhindar dari transaksi riba. Mengapa? Karena bagaimanapun juga, produk syariah adalah produk yang menawarkan jasa transaksi syariah kepada konsumen. Jadi, jika hak konsumen mendapatkan penanganan bebas dari transaksi ini, akan tetapi ternyata produsen justru menunjukkan sikap sebaliknya, maka pada hakikatnya konsumen juga bisa melakukan aduan keluhannya pada YLKI dan BPSK. Dengan demikian, ruang penyaluran aspirasi tidak menjadi berbelit harus melalui ranah OJK (Otoritas Jasa Keuangan) atau bahkan kepolisian.
Nah, dunia telemarketing dewasa ini, acap mempergunakan fasilitas marketplace untuk mendatangkan barang baik berupa produk dalam negeri atau luar negeri dari konsumen tingkat satu pelapaknya. Kualitas barang memang bisa dijamin prima. Namun, yang tidak didapat oleh konsumen terakhir adalah berupa tidak menemui adanya gerai servis yang bisa melayani adanya kerusakan barang, misalnya penyediaan suku cadang produk, dan sejenisnya. Akibat yang diderita oleh konsumen adalah kerugian (dlarar), sebab barang menjadi produk sekali pakai.
Kendati barang dijanjikan sebagai memiliki kualitas prima, harga yang didapat juga murah, namun jika ekses dari penggunaan tidak dapat disikapi berupa penyediaan gerai layanan servis, maka itu menandakan ada unsur kerugian itu. Belum lagi, ekses kerugian tidak langsung berupa sampah elektronik atau limbah produk, yang juga pasti ada. Jika pada perusahaan dan UMKM dalam negeri ada beban tuntutan berupa memasukkan manajemen responsibility (tanggung jawab ekses) ke dalam bagian manajemennya, yang disalurkan lewat CSR, maka bagaimana dengan perusahaan yang produknya didatangkan lewat dunia telemarketing ini? Inilah bagian dari ruang gerak baru yang seharusnya menjadi bagian yang diperhatikan oleh YLKI dan BPSK.
Tindakan pertama, barang kali adalah berupa tindakan antisipatif berupa penyediaan regulasi dari pemerintah. Misalnya, regulasi bahwa barang yang diperjualbelikan dalam marketplace adalah harus terdiri dari barang yang sudah mendapatkan ijin operasional di Indonesia. Karena fakta membuktikan bahwa berbagai marketplace yang ada saat ini, tidak memiliki cara / mekanisme pembatasan bagi produk yang dijual oleh pelapak.
Sebenarnya kerugian dengan ketiadaan regulasi ini bukan hanya terjadi pada konsumen. Bahkan negara pun hakikatnya juga dirugikan, karena industri pengapalan yang menjanjikan retribusi / pemasukan bagi daerah, menjadi terkurangi job-nya akibat diambil alih ruang geraknya oleh jasa penghantaran barang / ekspedisi. Walhasil, menuntut adanya regulasi itu, sama halnya dengan menyelamatkan pendapatan negara dalam lingkup nasionalnya, dan pendapatan daerah pada scope regional.
ليس حق الملكية حقاً مطلقاً، وإنما هو مقيد بعدم إلحاق الضرر بالغير، فإذا ترتب على استعمال الحق إحداث ضرر بالغير نتيجة إساءة استعمال هذا الحق، كان محدث الضرر مسؤولاً
Artinya:
“Tidak ada hak kepemilikan yang bersifat mutlak. Bagaimanapun juga, hak senantiasa dibatasi (diregulasi) dengan ketiadaan kerugian bagi pihak lain. Bilamana di kemudian hari ditemui bahwa penggunaan hak dapat menimbulkan kerugian bagi pihak tertentu disebabkan buruknya pemfungsian, maka dampak kerugian yang terjadi harus dipertanggungjawabkan.” (Al-Zuhaili, al-Fiqhu al-Islamy wa Adillatuhu, Damaskus: Dâr al-Fikr, 1985: 4/299)
Menghindari terjadinya banjir impor barang yang tanpa melalui mekanisme ekspor-impor, maka tindakan kedua yang diperlukan barangkali adalah membatasi aktifitas transaksi individu antar negara. Apakah tindakan ini tidak bertentangan dengan hak mutlak individu terhadap hartanya? Sebuah qaidah menyatakan:
تصرف الإنسان في خالص حقه إنما يصح إذا لم يتضرر به غيره
Artinya:
“Pemanfaatan seseorang atas hak individunya dipandang sah manakala tidak menimbulkan kerugian bagi pihak lain.” (al-Zuhaili, Nadhâriyatu al-Dlammân aw Ahkâm al-Masûliyyah al-Madâniyyah wa al-Jinâiyyah fi al-Fiqh al-Islâmi, Damaskus: Dâr al-Fikr, 2012: 207)
Hengkangnya beberapa perusahaan multinasional di Cina, setidaknya dapat dijadikan cermin, bahwa hak produsen bagi terjaminnya ruang lingkup usaha dan selamatnya medan dari persaingan usaha yang tidak sehat adalah merupakan bagian penting yang harus diperhatikan. Mengapa tidak sehat?
Sebab, keberadaan perusahaan multinasional dibebani oleh sejumlah kewajiban terikat regulasi dan peraturan yang berlaku di suatu negara, sementara perusahaan luar negeri, yang menjual produknya ke konsumen dalam negeri lewat marketplace tidak terkena beban itu, sehingga berakibat murahnya harga barang. Ini adalah bagian dari iklim usaha yang tidak sehat. Cepat atau lambat memerlukan penanganan. Kecuali, jika negara menghendaki bahwa investasi dalam sektor industri dalam negeri yang melibatkan modal asing menjadi tidak terjamin.
Jika negara tidak mampu menjamin hal ini, maka sama artinya telah terjadi kedzaliman. Kedzaliman itu secara langsung berimbas pada produsen, dan secara tidak langsung adalah pada konsumen serta lingkungan.