Seorang tokoh agama mengumumkan, kiamat akan segera tiba dalam hitungan hari atau bulan. Dia tahu pasti kapan kiamat akan tiba tanpa secuil pun keraguan. Keyakinan ini sebegitu pasti hingga tak ada yang disebut dengan rencana cadangan.
Seluruh tanda-tanda kedatangan kiamat yang dinubuatkan dalam kitab suci terasa sudah terjadi. Karena kiamat pasti terjadi dan kebenaran kitab suci tak mungkin terbantahkan, maka pengumuman ini seperti sebuah terompet malaikat yang menandai berakhirnya sejarah semesta.
Para jamaah telah bersiaga menyambut datangnya kiamat dengan keimanan yang menggelora. Tidak sedikit di antaranya telah menguras habis hartanya, karena saat kiamat tiba, harta tidak lagi dibutuhkan. Ada yang menjual rumah, ada yang menghabiskan seluruh tabungannya.
Peristiwa di atas sama sekali tidak terjadi di sebuh desa kecil di wilayah barat Kabupaten Ponorogo, Jawa timur, di tahun 2019. Kegaduhan beberapa keluarga di Ponorogo akibat “ajaran kiamat segera tiba” hanyalah salah satu dari fenomena sosial-keagamaan yang telah terjadi di beberapa belahan dunia.
Peristiwa yang tergambarkan di awal tulisan ini terjadi di Amerika Serikat, tepatnya di California, pada 2011. Peristiwa ini bermula ketika seorang pemuka Gereja Evangelis, Harold Camping, mengumumkan dengan sangat yakin dan pasti, berdasarkan naskah Injil yang diyakininya tentang datangnya kiamat pada Sabtu, 21 Oktober 2011.
Camping menyebarkan prediksinya melalui jaringan media dan papan iklan. Informasi ini kemudian menyebar ke berbagai negara. Begitu kuatnya seruan ini, hingga seorang remaja putri di Rusia usia 14 tahun memutuskan bunuh diri karena ketakutan. Dalam catatan buku harian, dia menulis, telah melihat tanda-tanda kedatangan kiamat saat dia melihat terdamparnya ikan paus di pantai dan matinya burung-burung.
Di tahun yang sama, di Taiwan juga dihebohkan dengan orang yang menyebut dirinya dengan nama Guru Wang yang memprediksi kedatangan kiamat pada 11 Mei. Dia menyarankan agar orang-orang berlindung di peti kemas. Sontak penjualan peti kemas melonjak sangat tajam hingga ditemukan ada sebuah desa yang sudah menyiapkan 100 buah peti kemas kosong.
Kiamat adalah salah satu doktrin iman yang nyaris ditemukan di semua agama. Agama Islam adalah salah satu agama yang meyakini akan datangnya kiamat, bahkan menjadi salah satu dari enam pilar imam. Lebih dari itu, beberapa hadits menyebutkan tanda-tanda kedatangannya, misalnya, terjadinya mala petaka besar, munculnya Dajal, dan sebagainya… Sekalipun demikian, dengan jelas dinyatakan bahwa tidak ada satu pun yang mengetahu kapan kiamat tiba selain Allah sendiri.
Sesungguhnya, tidak hanya agama, di hampir semua peradaban dunia ditemukan adanya keyakinan akan berakhirnya dunia yang didahului dengan beberapa tanda kehadirannya. Biasanya, narasi tentang kiamat muncul saat situasi sedang tidak menentu, orang-orang berada dalam himpitan kehidupan berat. Situasi ini akan menuntun kepada harapan-harapan supra-alami karena situasi alamiah tidak lagi memberi harapan akan perubahan yang lebih baik.
Tidak mengherankan jika narasi kiamat selalu berpadu dengan dua hal lain: kejadian alam yang tidak bisa dijelaskan dan harapan akan datangnya pertolongan dari sosok yang akan menegakkan keadilan. Orang Jawa menyebut sosok imajiner itu dengan istilah ‘Ratu Adil”.
Dalam situasi seperti ini, isu kiamat biasanya akan lahir. Suasanya lebih mengkhawatirkan jika isu kiamat ini muncul dari tokoh agama yang menjustifikasi isu tersebut dengan dalil-dalil agama.
Tidak seperti kebenaran sains yang selalu memberi ruang untuk sebuah keraguan, narasi agama selalu diharikan dalam paket kebenaran mutlak yang melarang siapa saja untuk meragukannya. Keraguan terhadap ajaran agama adalah pelanggaran terhadap batas-batas iman. Alternatif yang ditawarkan hanya dua: iman atau tidak iman; beragama atau tidak beragama; selamat atau tersesat.
Di sini, agama sepenuhnya diperlawankan dengan akal sehat. Seakan-akan, semakin seseorang beriman, semakin dia harus menanggalkan akal sehatnya, nalar kritisnya. Padahal, sekalipun ada bagian-bagian dalam doktrin agama yang tidak bisa dinalar, misalnya jumlah rakaat shalat, namun perintah kebaikan agama seharusnya sejalan dengan akal sehat manusia. Jika perintah kebaikan dari agama bertentangan dengan akal sehat, maka semakin orang menjalankan agama, semakin ia teralienasi dari dirinya.
Agama berfungsi sebagai pembebas jika ajaran-ajarannya adalah jawaban atas kebutuhan konkret manusia, bukan manipulasi atas keterpurukan situasi dan pengingkaran atas nalar kritis. Agama justru seharusnya membuka ruang-ruang kritis agar pengikutnya sanggup mengenali dirinya dan lingkungannya dengan tepat.
Yang tidak kalah pentingnya adalah kearifan tokoh agama dalam berdakwah. Berdakwah tidak hanya menyampaikan apa yang diyakini seorang pendakwah sebagai kebenaran iman. Yang tidak kalah pentingnya dari aktivitas dakwah adalah mempertimbangkan akibatnya. Seorang pendakwah pada hakikatnya adalah seorang pendidik. Pendidik yang baik tentu saja haruslah orang yang menguasai bidang ilmunya. Namun penguasaan ilmu saja tidak cukup, pendidik yang baik juga dituntut untuk tahu kepada siapa, kapan, dan materi apa yang tepat untuk disampaikan.
Tidak ada satu pun orang beragama yang meragukan akan hadirnya kiamat. Sekalipun demikian, cara sehat untuk menyongsongnya tentu saja bukan dengan menjual rumah dan menghabiskan tabungan untuk pendidikan anak-anak kita, tapi dengan berbuat kebaikan dan menebar cinta kepada sesama. Hingga, saat kiamat itu tiba, kita bisa menyongsongnya dengan iman dan senyuman.[]