Kiai Husein Muhammad baru saja dianugerahi gelar Doktor Honoris Causa oleh Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo, Semarang. Prosesi penganugerahan gelar Dr (Hc) bagi Kiai Husein, dilakukan pada rapat senat terbuka di Aula II, Kampus 3 UIN Walisongo pada Selasa (26 Maret 2019) lalu.
Pemberian gelar kehormatan dalam bidang akademik bagi Kiai Husein merupakan bukti betapa intelektualisme pesantren terus menggeliat. Kiai Husein, dengan ketekunan serta kegigihan mengembangkan gagasannya, merupakan teladan bagi santri-santri masa kini di tengah arus zaman digital dan turbulensi godaan politik.
Dalam sambutan di tengah prosesi penganugerahan Dr. (Hc) kepada Kiai Husein Muhammad, Rektor UIN Walisongo Semarang, Prof. Dr. H. Muhibbin, M.Ag, memberi apresiasi atas pencapaian dan konsistensi pengasuh pesantren Dar al-Tauhid, Arjawinangun, Cirebon dalam pengabdian serta intelektualitas.
“UIN Walisongo Semarang berkomitmen akan mencari para ulama yang cakap dan pantas untuk diberikan gelar Doktor Honoris Causa. Semoga ke depan, ulama-ulama kita bisa berkiprah sesuai bidangnya, dan selamat kepada KH. Husein Muhammad,” demikian sambutan Prof. Muhibbin.
Bagi penulis, Kiai Husein merupakan guru sekaligus mentor yang istimewa. Dengan pembawaan yang ramah, gagasan bernas, dan ungkapan-ungkapan yang lembut, Kiai Husein laksana begawan sekaligus intelektual yang membuat nyaman orang-orang di sekelilingnya.
Penulis teringat bagaimana keramahan Kiai Husein ketika berkomunikasi. Bahkan, sebagai santri yang usianya setara putra beliau, penulis sering disapa dengan sangat ramah. Ketenangan jiwa dan pesona beliau, terasa membawa kedamaian.
Perkenalaan penulis dengan Kiai Husein, bukanlah berlangsung dari forum pengajian pesantren atau bahtsul masail. Pada kisaran tahun 2014, penulis pernah mendapatkan kepercayaan untuk mengedit naskah buku karya Kiai Husein Muhammad, yang berisi kajian-kajian hikmah dan kisah-kisah keislaman yang berbalur dengan sandaran syariat serta sufisme. Naskah buku itu, berjudul “Menyusuri Jalan Cahaya“, kemudian terbit di penerbit Bunyan-Bentang (Mizan Group), Jogjakarta.
Pada proses penerbitan buku itu, ungkapan kata dan gairah intelektual Kiai Husein terasa sebagai pelajaran berharga. Kiai Husein menulis bukan sekedar untuk mengekspresikan gagasan, lebih dari itu untuk memberi cahaya penerang bagi pembacanya.
Ketika penulis mengajak keluarga untuk bersilaturahmi ke kediaman Kiai Husein di kawasan Arjawinangun Cirebon, beliau dengan senang hati menerima, menghormati layaknya tuan rumah yang selalu hangat kepada tamu-tamunya. Kiai Husein tidak sekedar menyuguhi makanan, beliau juga menghamparkan kisah-kisah hikmah dan pengetahuan bagi penulis sekeluarga.
Selanjutnya, perjumpaan-perjumpaan saya cukup intens dengan Kiai Husein. Baik dalam forum-forum pesantren, agenda-agenda Nahdlatul Ulama, maupun workshop serius yang mengkaji riset-riset mutakhir yang menganalisa fenomena keagamaan dan demokrasi. Selebihnya, penulis sering menyimak gagasan-gagasan Kiai Husein melalui ceramah-ceramah online maupun esai-esai singkat yang disiarkan melalui media sosial.
Intelektual pesantren
Kiai Husein Muhammad lahir di tengah keluarga santri, di Cirebon, pada 9 Mei 1953. Ia nyantri di pesantren Lirboyo, Kediri, mengokohkan basis kitab kuning dan menyelami literatur Islam klasik. Pada 1973, Kiai Husein melanjutkan belajar ke Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an (PTIQ) Jakarta. Selepas 1980, petualangan keilmuannya berlanjut ke Universitas al-Azhar, Mesir. Di Kairo, Kiai Husein memuaskan petualangan ilmu sebagai santri, dengan mengaji ke beberapa Syaikh al-Azhar serta menyusuri lorong-lorong peradaban kitab serta majelis ilmu di kota itu.
Kiai Husein fokus pada pengembangan kajian tafsir berbasis gender. Ia menyegarkan gagasan tentang perempuan dan keberpihakan Islam, terutama dalam diskursus keislaman di Indonesia. Beberapa buku menjadi dokumentasi gagasan Kiai Husein: “Fiqh Perempuan, Refleksi atas Wacana dan Gender (2001)”, “Islam Agama Ramah Perempuan (2004)”, Dawrah Fiqh Perempuan (2004)”, “Ijtihad Kiai Husein: Upaya Membangun Keadilan Gender (2011)”, “Fiqh Seksualitas; Risalah Islam untuk Pemenuhan Hak-Hak Seksualitas (2011)”, “Fiqh HIV/AIDS (2008)”, Mengaji Pluralisme kepada Maha Guru Pencerahan (2011)”, “Sang Zahid: Mengarungi Sufisme Gus Dur (2012)”, dan beberapa karya lain.
Mengapa Kiai Husein penting sebagai cermin intelektualisme pesantren yang terus menggeliat? Penulis merasa, jawabannya adalah bagaimana Kiai Husein tidak pernah merasa puas dengan pencapaian keilmuan, selalu haus dengan pengetahuan baru.
Kiai Husein juga seorang intelektual yang ‘selalu gelisah’ dengan fenomena zaman, selalu berusaha mencari rumusan baru dalam rangka pembaruan gagasan. Kiai Husein berpegang pada prinsip menjaga nilai-nilai intelektual pesantren lama yang baik, seraya menyerap nilai-nilai baru dari tradisi intelektual modern dan pergerakan/aktifisme, untuk menyegarkan gagasan serta aksi sosial di tengah masyarakat.
“Kenapa kita hanya selalu mengunyah-ngunyah pengetahuan masa lalu, dan kita tidak menciptakan hal yang baru?” keluh Kiai Husein, sebagaimana dikisahkan Rumadi Ahmad, dalam esai “Kang Husein, Pribadi yang selalu Gelisah” (fahmina, 19/03/2019). Bagi penulis, Kiai Husein adalah wajah intelektual pesantren yang selalu berusaha menangkap cahaya pengetahuan, untuk disebarkan kepada umat. Ia mengajak kita untuk selalu istiqomah ‘menyusuri jalan pencerahan’.
Masa depan intelektualisme pesantren akan selalu bergairah, dari kisah teladan Kiai Husein. Kini, sudah banyak kiai-kiai muda dengan kematangan ilmu dan spesialisasi kajian. Konsistensi mengarungi zaman, istiqomah menekuni pengetahuan dan keberpihakan pada umat, menjadi kuncinya. Bukankah demikian?
Wallahu A’lam.