Ketika wacana Islam sebagai agama terorisme dan anti perdamaian, Kiai Hasyim menolak dengan tegas bahwa stereotip yang mengatakan Islam sebagai agama perusak kemanusiaan harus dikaji ulang. Terbukti saat mesiu dan meriam saling berjatuhan di Irak akibat tangan jahil Amerika, Kiai Hasyim atas nama NU menentang agresi yang memakan banyak korban sipil, sebagai kejahatan kemanusiaan yang harus dihentikan.
Kiai Hasyim dengan sigap menggalang dukungan untuk menghentikan kebrutalan Amerika termasuk mencari dukungan moral ke Vatikan dan parlemen Eropa (hal 323). Kiai Hasyim mencoba memberikan pelajaran bahwa Islam yang selama ini diidentikkan dengan agama yang fundamentalis, anti prulalitas, bahkan teroris adalah tuduhan yang tidak benar sama sekali.
Apalagi setelah terjadi Serangan 11 September 2001, Islam dan Barat menjadi tegang dalam urusan diplomatik maupun politik saat itu, meski hingga sekarang pun Barat dan Timur seperti dua medan magnet yang saling menolak. Sebagai pembawa biduk kapal Islam moderat saat itu Kiai Hasyim tak tinggal diam dalam menyikapi ketegangan antara Islam dan Barat yang kian memuncak.
Menurut Kiai Hasyim, harus diakui, kesan-kesan negatif terhadap Islam itu adalah akibat dari pemberitaan media massa Barat yang entah sengaja atau tidak, secara sitematis berusaha menyebarluaskan pandangan-pandangan stereotipikal dan peyoratif (hal: 322). Lelaku terpuji dan penuh inspirasi Kiai Hasyim Muzadi dapat kita selami lebih dalam di buku Biografi Kiai Hasyim Muzadi, yang dianggit oleh Ahmad Millah Hasan (2018).
Awalnya, apa yang dilakukan oleh Kiai Hasyim Muzadi untuk menggugah hasrat kebangsaan dan keberagamaan dalam konteks luas menyimpan teka-teki yang tak jarang melahirkan sinisme menyakitkan. Atau dipahami sebagai jalan pencitraan yang ditunggangi ambisi dan kepentingan. Misal, kesalahpaham yang terjadi antara Kiai Hasyim dan Gus Dur yang langsung menjadi perbincangan hangat media massa. Gus Dur sering mengeluarkan pernyataan yang menyerang Kiai Hasyim dan NU.
Kiai Hasyim seolah telah mengambil langkah sendiri yang berbeda dengan Gus Dur. Padahal sebenarnya tidak. Sepertinya, memang ada pihak-pihak yang tak ingin kedua tokoh besar NU ini bersatu (hal 128). Atau puncaknya adalah saat Kiai Hasyim maju menjadi calon wakil presiden mendampingi Megawati Soekaro Putri di pilpres 2004 silam.
Banyak yang menyayangkan keputusan Kiai Hasyim yang memilih merapat ke partai lain ketimbang membesarkan PKB dan NU. Kendati demikian, Kiai Hasyim tetap teguh berjalan dengan pegangan bahwa apapun dibangun hanya dengan kharisma tanpa manajeman yang baik tidaklah cukup.
Tapi, Kiai Hasyim tetap teguh dan melibas semua kerikil yang hendak mengalangi langkahnya, hingga menggagas International Conferenceof Islamic Scholars (ICIS), sebuah organisasi swadaya masyarakat, non-politik, non-etnik, yang bekerja untuk membangun dialog dan kerjasama setara antar ulama dan cendikiawan muslim di seluruh dunia menuju tatanan masyarakat yang damai, berkeadilan dan berkeadaban.
Organisasi yang murni mengampanyekan konsep Islam rahmatan lil alamin sebagai keniscayaan. Selain itu, ICIS juga berkonsentrasi meredam konflik yang terjadi di belahan dunia, utamanya di Timur Tengah (hal.163). Melalui gerakan ICIS itulah, Kiai Hasyim menunjukan bahwa dirinya tak pernah beranjak dari tiga hal, yaitu Ke-Islaman, ke-NU-an, Kebangsaan. Itulah Kiai Hasyim Muzadi nahkoda yang memiliki ambisi perdamaian tidak boleh mati meski denyut nadi meminta berhenti.
Mungkin, Kiai Hasyim Mujzadi salah satu dari seribu kiai dan ulama yang berani menyuarakan ideologinya tentang perdamaian sampai pada tataran Internasional. Yang selama ini masih begitu awam dilakukan oleh seorang kiai. Sebab, yang selama ini kita lihat mayoritas kiai sekarang lebih memilih diam di menara gadinya ketimbang menyuarakan keadilan di luar sana dan membimbing masyarakat tertindas. Alih-alih demikian, yang terasa kini antara ulama dan masyarakat seperti tersekat lubang yang menganga.
Dari sini, Kiai Hasyim Muzadi bisa menjadi cermin bagi kita semua untuk menanggalkan semua bentuk status apapun saat berhadapan dengan tragika kemanusiaan.Utamanya, bagi para kiai bahwa tak melulu soal surau dan langgar yang lusuh namun forum dunia bisa menjadi tempat mengaji yang asyik. Agama bukan hanya soal fiqih dan ibadah, namun dilapisi hablum minannas (kecintaan terhadap sesama manusia) yang harus ditularkan oleh siapapun dalam rangka mewujudkan perdamaian abadi. Begitulah Kiai Hasyim Muzadi, tak pernah berhenti.
Tak melulu soal kiprahnya di NU, ICIS dan bangsa semata yang digurat di buku ini. Namun, Kiai Hasyim juga tak pernah meninggalkan lokalitas kinasihnya yang selalu dirindukan: keluarga. Kita akan disuguhkan romatisme keluarga besar Kiai Hasyim yang dipenuhi kebersaamaan. Kendati memiliki kesibukan yang luar biasa padatnya,Kiai Hasyim sangat perhatian pada kelurga, termasuk pada enam kakak dan seorang adiknya. Pun, jika dibutuhkan oleh saudaranya, Kiai Hasyim selalu hadir (hal.51).
Buku ini dikemas sama halnya dengan novel autobiografis saja, membaca buku ini seperti sedang membuka lembaran album kenangan. Alur cerita yang dibumbui foto-foto masa silam Kiai Hasyim menambah kongkrit akan diri Kiai Hasyim Muzadi. Kita seperti tengah mendengar langsung si penulis bercerita di surau desa tempat biasa kita mengeja malam yang kosong.
Sayangnya, latar belakang penulis yang sebagai jurnalis terasa begitu kental dari gaya penulisan yang lugas dan terang-benderang ala hard news, indepth news . Tentu, hal ini kadang menurunkan minat pembaca yang memang mengharapkan disampaikan secara liris dan mendayu ala sastra. Seperti air yang mengalir. Tapi, terlepas dari itu semua, buku ini sangat layak untuk menjadi cermin motivasi kehidupan kita.
Resensi
Judul Buku : Biografi A. Hasyim Muzadi
Penulis : Ahmad Millah Hasan
Penerbit : Keira Publishing
Cetakan : Pertama, Maret 2018