Berangkat dari kisah sejarah K.H Ahmad Dahlan dan K.H Hasyim Asy’ari, kehadiran film yang digagas dan dikerjakan bersama oleh Pesantren Tebuireng Jombang dan LSBO PP Muhammadiyah ini serasa telaga bagi orang yang merindukan kesejukan beragama, kesejukan bersosial. Setidaknya bagi saya. Film ini mampu mengisi ulang gairah serta cara pandang atas medan dakwah keislaman.
Sungguh, apresiasi tertinggi saya sampaikan kepada tim produksi, terutama kepada Sigit Ariansyah selaku sutradara –yang ternyata pernah mengenyam pendidikan pesantren di Gontor- yang berani mengambil keputusan untuk mengerjakan film ini. Keberanian untuk mengambil rentang waktu sejarah yang panjang, sejak K.H Ahmad Dahlan dan K.H Hasyim Asy’ari masih kecil, hingga memasuki masa kemerdekaan. Keberanian untuk menerjemahkan skenario, yang tentulah membutuhkan kedalaman riset, menjadi film yang sarat nilai edukasi ini.
Sebagai penonton awam, setahu saya tidak banyak film sejarah yang memiliki dua tokoh utama, dengan kompleksitas latar waktu dan tempat yang berbeda. K.H Ahmad Dahlan di Yogyakarta dan K.H Hasyim Asy’ari di Jombang, yang memiliki sejarah masing-masing. Tentu saja, melalui judul film ini, samar-samar kita akan mengingat bahwa keduanya memiliki dan bahkan dipertemukan dalam sanad keilmuan yang sama.
Mengingat film ini merupakan tangkapan atas peristiwa sejarah yang panjang, tentulah sulit memunculkan detail fakta sejarah dalam film ini, salah satunya karena pertimbangan durasi. Sebagai film, tentulah terdapat sedikit permainan alur cerita. Oleh karena itu, saran saya kepada siapapun yang hendak menyaksikan film penuh hikmah ini, berkonsentrasilah sejak babak awal film, karena akan ada lompatan waktu dan tempat dalam tempo padat.
Meski telah dua kali menyaksikan film yang rilis pada awal Februari 2020 ini, sebagai penonton awam, saya masih belum bisa menangkap urutan waktu kesejarahan dengan baik. Walau demikian, lompatan-lompatan waktu dan tempat itu lambat laun akan membuat kita semakin terbiasa. Terlebih pada sepertiga kedua, intensitas lompatan mulai berkurang, menjadi lebih berat secara dialektis.
Terlepas dari lompatan-lompatan itu, tentulah terdapat banyak sekali nilai kearifan, seperti, cara Kyai Dahlan menghormati keberlangsungan pemerintahan di Yogyakarta, Sultan Hamengkubuwana VII, sikap Kiai Dahlan ketika dituduh sebagai kiai kafir, bahkan oleh anak kecil, serta sikap kiai Dahlan yang tidak ingin memaksakan diri untuk mengajar pendidikan Islam dalam organisasi Budi Utomo.
Begitu juga dengan persahabatan Kiai Hasyim dengan Kiai Nur Zahid, cara Kiai Hasyim menyikapi aksi premanisme, ketakdziman Kiai Hasyim kepada Kiai Kholil Bangkalan, gurunya, serta banyak lagi pelajaran yang sangat berharga yang dapat dipetik melalui film ini.
Hal lain yang perlu saya apresiasi adalah bagaimana kejelian dan kelihaian sutradara untuk mengakali beberapa titik hitam. Titik hitam yang saya maksudkan adalah resepsi penonton berupa ketegangan yang berlebihan dan kejenuhan. Selain itu, muncul juga upaya sang sutradara untuk menghadirkan beberapa trik humor, yang menurut saya cukup berhasil, namun tidak memengaruhi jalannya cerita utama.
Bagaimanapun juga, film yang bagi saya memunculkan kesan adanya dua cerita utama yang berjalan sendiri-sendiri dan sesekali saling berkaitan ini, tentulah memiliki konsekuensi di luar ekspektasi. Sebagai penonton awam, saya menemukan semacam ruang kosong yang perlu digali sendiri oleh penonton. Ruang kosong yang sesungguhnya juga memiliki kedalaman kearifan.
Bagi saya, film ini seperti kitab babon. Perlu ada tafsiran-tafsiran baru yang lebih detail, baik berupa film pendek atau web series. Melalui hal itu, setidaknya penonton awam seperti saya dapat terbantu untuk menemukan sesuatu yang saya sebut ruang kosong.
Tafsiran baru, mungkin, lebih berorientasi pada keakraban Kiai Dahlan dan Kiai Hasyim, dialektika keilmuan keduanya, dan pandangan keduanya atas suatu fenomena.
Sebagai film indie dan memilih jalur pop up, kalau boleh saran, sebaiknya tim produksi lebih memperkuat upaya distribusi, terutama perihal publikasi. Perihal distribusi, tentulah mungkin untuk menggandeng lembaga-lembaga yang dinaungi NU dan Muhammadiyah, jaringan santri/alumni, atau bahkan jaringan komunitas film. Perihal publikasi, tentulah diperlukan sesuatu semacam pusat informasi, kapan dan di mana film ini akan ditayangkan. Mempertimbangkan juga, agar banyak masyarakat yang memperoleh pelajaran melalui film yang berharga ini.
Begitulah, semoga film Jejak Langkah 2 Ulama menjadi kitab babon untuk laku dakwah bil film. Eureka! (AN)