Kiai Adnan dikenal sebagai orang yang sangat mencintai persatuan umat Islam. Atas dasar itu, ia tidak mau bergabung dengan organisasi Islam mana pun. Sekalipun ia kenal dengan banyak pendiri dan aktivisnya, Kiai Adnan selalu menolak dengan cara yang sangat halus.
Disebutkan dalam buku Muhammad Hisyam, Caught between Three Fires: The Javanese Pangulu under the Dutch Colonial Administration 1882-1942, Kiai Ahmad Dahlan ketika mendirikan Muhammadiyah cabang Solo berulang kali mengirim telegram kepada Kiai Adnan. Isinya meminta Kiai Adnan untuk memimpin Muhammadiyah cabang Salo yang akan dibentuk.
Meskipun diajak berkali-kali, Kiai Adnan tetap menolak. Ia tidak mau bergabung bukan berati tidak setuju dengan Muhammadiyah. Kiai Adnan malah mengapresiasi Muhammadiyah dalam kesungguhannya mendirikan lembaga pendidikan, memerangi bid’ah dan kurafat. Meskipun demikian, Kiai Adnan tetap memberi catatan kritik di mana Muhammadiyah seringkali gagal menunjukkan penghargaan terhadap tradisi lokal.
Akibatnya, niat baik Muhammadiyah itu dalam beberapa kasus disambut dengan kebencian oleh orang yang merasa terhalang untuk menjalankan tradisinya. Kiai Adnan khawatir, kalau ia menerima tawaran Kiai Ahmad Dahlan, kemungkinan besar ia akan ditolak oleh masyarakat yang merasa dirugikan Muhammadiyah. Hal ini tentu akan menghambat pergerakan dan keinginannya untuk menjangkau dan berdakwah kepada semua lapisan masyarakat.
Selain itu, kemunculan organisasi keislaman ini, seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan organisasi lainnya, tentu berdampak baik terhadap masyarakat. Tetapi tidak bisa juga dipungkuri fakta bahwa adanya organisasi tersebut kadang membuat masyarakat yang tidak bijak menjadi terpecah belah. Kiai Adnan tidak mau memilih aktif di organisasi Islam mana pun supaya dia tetap bisa berdiri di tengah.
Karena tidak mau bergabung dengan organisasi Islam, pendiriannya itu kadang dikritik oleh sebagian orang. Kiai Adnan menegaskan bahwa sikapnya itu menunjunjukkan kepeduliannya terhadap umat, Kiai Adnan menegaskan bahwa sikapnya itu menunjukkan kepeduliannya terhadap umat.
Kalau ia bergabung ke salah satu organisasi, khawatir hal itu tidak membuatnya menjadi mandiri dan tidak bisa berbuat adil. Sebagai seorang penghulu, ia harus menunjukkan integritasnya, menempatkan diri di atas semua golongan, dan menonjolkan sikap moderat dan mendukung persatuan.
Meskipun buat pengurus Muhammadiyah, Kiai Adnan semasa hidupnya beberapa kali diundang untuk berkontribusi dalam kegiatan Muhammadiyah. Ia pernah memberi nasihat dan pandangannya dalam pertemuan penting Majelis Tarjih atau memberi ceramah di forum Muhammadiyah lainnya.
Kisaran tahun 1940-1950-an, Kiai Adnan sebetulnya sempat aktif di Nahdlatul Ulama. Ia diangkat menjadi salah satu dewan penasihat Nahdlatul Ulama. Tapi pada tahun 50-an, ia mengundurkan diri dari posisi itu karena kecewa dengan sikap NU yang memisahkan diri dari Masyumi.
Sebagaimana ditulis oleh Muhammad Hisyam, tahun 1945, Kiai Adnan memasuki dunia politik. Ia bersama tokoh Islam lainnya menggelar Muktamar Umat Islam, atau Kongres Muslim, di Yogyakarta tanggal 7 November 1945. Hasil dari muktamar ini menyepakati pendirian Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) sebagai satu-satunya partai Islam di Indonesia.
Sebab cinta pada persatuan umat Islam, tak ayal beliau semangat untuk bergerak bersama Masyumi, di mana seluruh organisasi Islam berkumpul di dalamnya. Ketika Masyumi dibentuk, Kiai Adnan diminta menjadi anggota dewan partai bersama Agus Salim dan KH. Abdul Wahab Hasbullah.
*Informasi lebih lanjut tentang profil Kiai Mohammad Adnan dapat diklik di sini.