Tokoh agama, utamanya di Indonesia, memang sudah seharusnya berkhotbah tentang dampak destruktif perubahan iklim. Alih-alih mereduksi fenomena bencana sebagai azab tuhan semata, para pendakwah agama mestinya mengajak umat untuk lebih sadar bagaimana sama-sama menjaga lingkungan dan bumi.
Misalnya, kedatangan Paus Fransiskus ke Indonesia dan beberapa negara tetangga bukan sekadar jalan-jalan biasa. Selain menyerukan pesan perdamaian, Sri Paus rupanya juga mewedarkan kemendesakkan perubahan iklim.
Kantor berita Reuters menyebut jika salah satu perhatian utama Paus Fransiskus selama kunjungan di Asia Tenggara adalah dampak kenaikan permukaan laut. Hal ini diperkirakan akan menggusur jutaan orang dari tempat tinggal mereka dalam beberapa dekade mendatang.
Di Indonesia sendiri, ancaman perubahan iklim rasanya sudah sangat nyata. Wilayah pesisir yang padat penduduk, termasuk Jakarta, berada dalam bahaya akibat penurunan tanah dan banjir.
Walau demikian, Indonesia tidak sebatang kara. Badan Riset dan Inovasi Nasional Indonesia memperkirakan 115 pulau di negara kepulauan ini bisa tenggelam sepenuhnya pada akhir abad ini.
Singapura, dengan wilayah daratannya yang rendah, memprediksi kenaikan permukaan laut lebih dari satu meter. Hal ini memberikan tekanan besar pada sistem pertahanan banjir negara tersebut.
Sementara itu, di Samudra Pasifik, permukaan laut naik lebih cepat dari rata-rata global, sebuah fenomena yang berkontribusi pada intensifikasi badai tropis di seluruh wilayah Pasifik Barat. Papua Nugini, yang juga menjadi salah satu tujuan Paus Fransiskus, menghadapi risiko serupa.
Mendung Banjir dan Hujan Lebat
Selain berkonsentrasi pada kenaikan permukaan air laut, Paus Fransiskus telah lama menyoroti risiko meningkatnya intensitas hujan dan banjir akibat pemanasan global. Asia Tenggara dan Pasifik Barat sangat rentan terhadap fenomena ini.
Pada bulan Mei lalu, misalnya, Papua Nugini dilanda tanah longsor besar yang menewaskan lebih dari 2.000 orang, dipicu oleh hujan deras dan badai. Indonesia juga mengalami hujan deras yang menelan korban jiwa pada bulan Mei dan Agustus tahun ini.
Timor Leste, negara yang juga rencananya akan dikunjungi oleh Paus Fransiskus, sedang berjuang untuk membangun ketahanan terhadap cuaca ekstrem.
Pada tahun 2021, negara yang pernah jadi bagian NKRI ini mengalami banjir terburuk dalam lima puluh tahun. Dalam laporan kebijakan iklim yang diserahkan kepada PBB, Timor Leste memperingatkan bahwa curah hujan ekstrem selama musim hujan dan risiko kekeringan yang meningkat selama musim kering dapat mengancam ketahanan pangan dan air mereka.
Singapura, dalam penilaian perubahan iklim tahun 2024, memprediksi bahwa negara ini bisa mengalami peningkatan curah hujan hampir dua kali lipat selama musim monsun pada akhir abad ini.
Panas Ekstrem
Paus Fransiskus menggambarkan bumi seperti sedang “demam.” Negara-negara yang berada di rute perjalanan Paus Fransiskus sangat rentan terhadap panas yang semakin ekstrem, yang berdampak langsung pada kesehatan masyarakat dan produktivitas ekonomi.
Singapura, misalnya, memperingatkan bahwa suhu di atas 35 derajat Celsius (95 Fahrenheit) bisa menjadi norma baru pada akhir abad ini jika emisi gas rumah kaca tetap tinggi.
Di Timor Leste, peningkatan suhu laut yang mematikan terumbu karang mengancam industri perikanan mereka, sebuah ancaman yang dapat mengguncang perekonomian negara tersebut.
Seruan Sebelumnya
Di tahun 2018, Paus Fransiskus telah mengingatkan umat sedunia tentang tantangan perubahan iklim. Dalam sebuah konferensi di Vatikan Sri Paus mendesak para eksekutif minyak dan pemimpin energi untuk segera beralih ke bahan bakar bersih guna mencegah bencana iklim.
Seperti dikutip UN Climate Change, Paus Fransiskus menyatakan bahwa meningkatnya tingkat gas rumah kaca adalah “sangat mengkhawatirkan dan menjadi penyebab kekhawatiran yang nyata.”
Dalam pesannya, Paus Fransiskus menyoroti bahaya dari pencarian cadangan bahan bakar fosil baru.
“Ini bertentangan dengan semangat Perjanjian Paris,” ujarnya. “Sekitar 80% cadangan bahan bakar fosil harus tetap berada di dalam tanah agar masyarakat internasional dapat mencapai tujuan menjaga kenaikan suhu rata-rata global di bawah maksimal dua derajat Celsius.”
Menurut Paus Fransiskus, peradaban memang membutuhkan (sumber) energi. “Tetapi penggunaannya tidak boleh menghancurkan peradaban itu sendiri. Sebab, dampak perubahan iklim ini paling dirasakan oleh orang miskin, yang terpaksa bermigrasi dari rumah mereka akibat gangguan sektor pertanian, ketidakamanan air, dan cuaca ekstrem.”