Khutbah Jumat: Islam Tidak Menentang Kebudayaan

Khutbah Jumat: Islam Tidak Menentang Kebudayaan

Dalam beberapa tahun terakhir, upaya sebagian pihak yang membenturkan agama dan budaya kembali mencuat.

Khutbah Jumat: Islam Tidak Menentang Kebudayaan

Khutbah Jumat Pertama:

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ أَكْرَمَ مَنْ اِتَّقَى بِمَحَبَّتِهِ وَأَوْعَدَ مَنْ خَالَفَهُ بِغَضَبِهِ وَعَذَابِهِ، أَشْهَدُ أَنْ لَا اِلَهَ اِلَّا الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، أَرْسَلَهُ بِالْهُدَى وَالدِّيْنِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهِ،
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا وَحَبِيْبِنَا وَشَفِيْعِنَا وَقُرَّةِ أَعْيُنِنَا مُحَمَّدٍ رَسُوْلِ الله وَخَيْرِ خَلْقِهِ، وَعَلَى أَلِهِ وَصَحْبِهِ الَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْ سَبِيْلِهِ، أَمَّا بَعْدُ،
فَيَا اَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ، اِتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَاتَمُوْتُنَّ اِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ.

Hadirin, jama’ah shalat Jumat yang dimuliakan oleh Allah ta’ala.

Ucapan syukur marilah kita haturkan kepada Allah swt, Dzat yang telah melimpahkan nikmat karunia-Nya. Shalawat dan salam semoga tersanjungkan kepada Nabi Muhammad SAW, utusan yang membawa rahmat bagi alam semesta.

Melalui mimbar yang mulia ini, khatib berwasiat kepada diri kami pribadi, dan umumnya kepada jama’ah kesemuanya untuk senantiasa meningkatkan ketakwaan kepada Allah ta’ala. Dengan cara menjalankan perintah-Nya, serta menjahui larangan-Nya.

Hadirin, sidang Jumat yang dimuliakan oleh Allah ta’ala.

Dalam beberapa tahun terakhir, upaya sebagian pihak yang membenturkan agama dan budaya kembali mencuat. Klaim bid’ah, syirik, murtad, dan khurafat mudah didakwakan kepada praktik pemahaman agama. Jika hal ini tidak ditelaah secara bijak dan cerdas, besar kemungkinan akan menimbulkan polemik di tengah-tengah masyarakat. Lebih dari itu, kondisi tersebut juga dapat dimanfaatkan oleh gerakan-gerakan radikalisme dan terorisme. Tujuannya adalah untuk melegalkan tindak pemaksaan dan kekerasan yang mereka jajakan.

Selain itu, keragaman suku, budaya, dan kepercayaan yang hidup di bumi Nusantara adalah sebuah kenyataan yang tidak dapat kita mungkiri. Kerukunan dan persatuan Indonesia akan tercabik jika masyarakat masih mudah dijejali doktrinasi dangkal dalam memahami pesan-pesan mulia agama. Agama dan budaya lokal lantas dipahami secara antagonis. Ajaran Islam diidentikkan dengan tampilan yang serba berbau budaya jazirah Arab.

Sudah barang tentu tidaklah tepat jika Islam dipahami secara sempit, disamakan sepenuhnya dengan tradisi Arab. Meskipun tetap harus diakui bahwa budaya masyarakat jazirah Arab merupakan salah satu unsur pembentuk norma dan ajaran Islam.

Lantas seperti apa seharusnya kita menempatkan relasi budaya dan agama? Dalam konteks masyarakat multikultural Indonesia, apakah Islam datang untuk mengikis keragamannya? Atau sebaliknya, agama dan budaya dapat saling memberdayakan?

Secara historis, kedatangan Islam ke Indonesia telah mengakibatkan adanya perombakan masyarakat atau transformasi sosial. Perubahan tersebut memperlihatkan terwujudnya tata kelola masyarakat yang lebih baik. Tidak lain karena kedatangan Islam tidak memotong suatu masyarakat dari masa lampaunya, melainkan justru ikut melestarikan apa saja yang baik dan benar dari masa lampau itu.

Hadirin, sidang Jumat hafidhakumullah

Dakwah kultural inilah yang dulu dirintis oleh Wali Songo. Masyarakat Nusantara yang masih diselimuti feodalisme Majapahit, dapat digantikan dengan egalitarianisme Islam. Dakwah ini menyebar dari kota-kota pantai utara Jawa yang menjadi pusat-pusat perdagangan Nusantara ke daerah-daerah pedalaman. Kemudian Wali Songo memutuskan untuk ikut mendorong percepatan unsur lokal guna menopang efektifitas dakwah. Kebudayaan dijadikan sebagai teknis operasionalnya.

Misalnya menggunakan media gamelan dan seni wayang untuk mendakwahkan Islam. Dengan sedikit merombak seperlunya, wayang kulit dan gamelan terbukti dapat menjadi media dakwah yang efektif. Hingga kini, jejak dakwah tersebut masih dapat dilihat dalam tradisi sekatenan di pusat-pusat kekuasaan Islam, seperti Cirebon, Demak, Yogyakarta, dan Surakarta.

Sudah barang tentu, metode dan langkah dakwah melalui perantara budaya tersebut tidak dilakukan oleh Wali Songo secara gegabah. Akan tetapi tetap mempertimbangkan batas-batas ajaran dasar agama. Selain itu juga telah dipertimbangkan masak-masak. Terkait hal ini, terdapat hadis Mauquf yang menegaskan bahwa sesuatu yang dinilai baik oleh komunitas Muslim, maka hal itu juga baik di hadapan Allah swt.

Sebagaimana termaktub dalam kitab al-Mustadrak karya Imam al-Hakim (321-405 H) disebutkan bahwa sahabat Abdullah bin Mas’ud pernah menyatakan: َ

َ(مَا رَأَى الْمُسْلِمُوْنَ حَسَناً فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ (رواه الحاكم

Artinya: “Sesuatu yang dinilai baik oleh masyarakat Muslim, maka hal itu juga dinilai baik di sisi Allah.” (H.R. al- Hakim)

Dalam ilmu ushul fikih, budaya lokal dalam bentuk adat kebiasaan itu juga disebut ‘urf, yang secara etimologis berasal dari akar kata yang sama dengan al-ma‘ruf. Karena ‘urf suatu masyarakat kemungkinan mengandung unsur yang salah dan yang benar sekaligus, maka dengan sendirinya orang-orang Muslim harus melihatnya dengan kritis. Tidak dibenarkan sikap menyalahkan sepenuhnya, tetapi juga tidak membenarkan semata. Akan tetapi harus dipilah mana yang baik dan mana yang buruk.

Terkait hal ini, terdapat kaidah fikih yang masyhur di kalangan ulama:

الَعاَدُة ُمُحَّكَمٌة

Artinya: “Adat dapat dijadikan sebagai pijakan hukum”

Dalam konteks itu, lantas Wali Songo berdakwah lebih mengutamakan metode “garam” (substansi) daripada “gincu” (formal). Mereka sengaja mendahulukan aspek isi daripada kulit. Selain itu, juga selalu menghindari unsur pemaksaan terselubung. Oleh karenanya, muatan-muatan tradisi lokal yang bertentangan dengan ajaran dasar Islam mampu diganti secara pasti dan berlahan, tanpa memicu polemik dan pertumpahan darah. Tak aneh apabila esensi ajaran Islam dapat merasuk dan menyebar secara cepat di bumi Nusantara.

Negara Indonesia memiliki 17.000 pulau, lebih dari 500 suku dan ras dengan keanekaragaman budayanya masing-masing. Di dalamnya dianut 6 agama resmi dan beragam sistem kepercayaan lainnya. Keragaman ini menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang besar dan kaya akan budaya. Keadaan multikultural ini merupakan mozaik bagi jamrud khatulistiwa, yakni Indonesia.

Keanekaragaman budaya yang menghiasi persada Nusantara terasa begitu indah di tangan para pekerja seni dan budayawan. Mereka menuangkan fenomena itu ke dalam harmoni tari, musik, syair lagu, dan bait puisi serta lukisan. Semua itu menyadarkan para pemimpin bangsa betapa besar keajaiban kebhinekaan budaya Ibu Pertiwi. Indah membentang beribu-ribu kilometer memeluk bumi. Keanekaragaman budaya diilustrasikan bagai bintang- bintang di langit yang bertebaran bak mutiara menghiasi jagat raya. Tenang dan tertib. Seolah memaklumkan kedamaian abadi kepada semua makhluk di muka bumi.

Hingga kini, Indonesia dapat hadir menjadi role model bagi relasi antara Islam dan kebangsaan. Meskipun berpenduduk mayoritas Muslim dan memiliki jumlah umat Islam terbesar di dunia, Indonesia mampu mendudukkan dirinya bukan sebagai negara agama, sekaligus bukan negara sekuler. Prinsip tauhid dan nilai-nilai keislaman justru masuk sebagai nafas ideologi Pancasila. Hal ini tercermin dalam sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam Pancasila inilah prinsip ketuhanan membentuk ideologi negara, berdampingan dengan nilai-nilai humanisme, nasionalisme, demokrasi, dan keadilan sosial. Masing-masing dijabarkan dalam sila kedua, ketiga, keempat, dan kelima.

Pengakuan bangsa Indonesia terhadap prinsip- prinsip ketuhanan bahkan termaktub dalam konstitusi dan UUD Negara RI 1945. Pembukaan konstitusi Indonesia secara jelas menyebutkan kemerdekaan Indonesia adalah berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa. Lebih dari itu, pasal 29 konstitusi menyebutkan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam tataran praksisnya, negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Hal ini sejalan dengan salah satu firman Allah swt dalam surat al-Kafirun.

لكم دينكم ولي دين

Artinya: “Untukmu agamamu, untukku agamaku.” (Q.S. al-Kafirun: 6)
Di sisi lain, secara faktual, sebenarnya Indonesia memiliki potensi kerentanan perpecahan. Tidak lain karena perbedaan penduduknya sangatlah kompleks. Banyak negara yang terpecah-belah disebabkan karena perbedaan penduduknya, meskipun tidak sekompleks Republik ini. Dari titik inilah generasi muda perlu sadar diri untuk merawat keharmonisan dan persatuan bangsa. Salah satunya ialah dengan cerdas dan bijak menyikapi keragaman budaya dan agama. Jangan sampai perbedaan agama dijadikan sebagai bahan saling ejek.

Sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an, Allah swt berfirman:

وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ كَذَٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّهِمْ مَرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Artinya: “Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, kerena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan, tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan.” (Q.S. al-An’am: 108)

Sejarah dan budaya bangsa Indonesia memberi pelajaran amat berharga, betapa perbedaan, pertentangan, dan pertukaran pikiran itulah sesungguhnya yang mengantar kita ke gerbang kemerdekaan. Melalui perdebatan tersebut, kita banyak belajar bagaimana toleransi dan keterbukaan para pendiri Republik Indonesia. Melalui pertukaran pikiran tersebut, kita bisa berkaca betapa kuat keinginan para pemimpin bangsa waktu itu untuk bersatu di dalam satu identitas kebangsaan sehingga perbedaan-perbedaan tidak menjadi persoalan.

Sudah sepatutnya, perbedaan tidak dibenturkan sebagai titik awal perpecahan, akan tetapi sebaliknya, perbedaan harus dipandang sebagai titik pijak untuk saling belajar dan mengenal. Demikian halnya perbedaan agama dan budaya. Dengan harapan, keragaman agama dan budaya akan menjadi salah satu modal sosial untuk menatap masa depan Indonesia yang semakin makmur, adil, dan beradab.

Semoga langkah kita senantiasa dalam bimbingan- Nya. Amin ya rabbal ‘alamin.

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِيْ الْقُرْأَنِ الْكَرِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الْأَيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ، وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمِ، وَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

***

Khutbah Jumat kedua

اَلْحَمْدُ للهِ حَمْدًا كَثِيْرًا كَمَا أَمَرَ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلهَ اِلاَّ لله وَحْدَه لاَشَرِيْكَ لَهُ، اِرْغَامًا لِمَنْ جَحَدَ بِهِ وَكَفَرَ، وَأَشْهَدُ اَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ سَيِّدُ اْلاِنْسِ وَالْبَشَرِ، اَللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلىَ اَلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ، اَمَّا بعْدُ.

فَيَا أَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوْا الله تَعَالىَ وَذَرُوْا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ وَمَا بَطَنَ وَحَافِظُوْا عَلىَ الطَّاعَةِ وَحُضُوْرِ الْجُمْعَةِ وَالْجَمَاعَةِ وَاعْلَمُوْا اَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَنَّى بِمَلاَئِكَةِ قُدْسِهِ فَقَالَ تَعَالىَ وَلَمْ يَزَلْ قَائِلاً عَلِيْمًا إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِىْ يَاَ أيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا، اَللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلىَ اَلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلىَ سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ وَعَلىَ اَلِ سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ في ِالْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.

اَللّهُمَّ وَارْضَ عَنِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ سَيِّدِنَا أَبِى بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ وَعَنْ سَائِرِ أَصْحَابِ نَبِيِّكَ أَجْمَعِيْنَ وَعَنِ التَّابِعِيْنَ وَتَابِعِى التَّابِعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلىَ يَوْمِ الدِّيْنِ اَللّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ بِرَحْمَتِكَ يَا وَاهِبَ الْعَطِيَّاتِ، اَللّهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا الْغَلاَءَ وَالْوَبَاءَ وَالزِّنَا وَالزَّلاَزِلَ وَالْمِحَنَ وَسُوْءَ الْفِتَنِ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَّةً وَعَنْ سَائِرِبَلاَدِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً، يَارَبَّ الْعَالَمِيْنَ رَبَّنَا اَتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلاَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.

عِبَادَ الله إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَاْلاِحْسَانِ وَاِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ فَاذْكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمِ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُاللهِ اَكْبَرُ.

 

 

Khutbah ini disarikan dari buku “Khutbah Jumat Kontemporer” yang diterbitkan secara bersama oleh The Political Literacy Institute, Convey Indonesia, PPIM UIN Jakarta, dan UNDP.