Saat dititahi turun gunung oleh Kiai tempatnya nyantri, Kliwon bergegas sungkem di hadapan emaknya. Ia meminta restu untuk jalan hidupnya yang tak pernah ia ketahui akhirnya nanti, kecuali keyakinan terhadap ketentuan Allah, syafaat Kanjeng Nabi, kerelaan emaknya, dan doa berkah dari Kiainya.
Satu yang membuat Kliwon menjadi ternganga, kenapa di luar pesantren begitu banyak orang yang ingin membebaskan orang lain dari dosa, tetapi dengan memaksa-maksa? Bahkan sebagiannya dengan mekakukan berbagai tindak kekerasan, pemaksaan agar perilaku dan pemikiran sama benar dengan kelompok pemaksa itu.
Kliwon merenung mencari jawab atas pertanyaannya sendiri yang terus mengganggu pikirannya selama berbulan-bulan. Ia mengingat kisah Nuh, yang diingatkan Tuhan, batas kekuasaannya hanyalah memberi peringatan bukan menjadikan siapapun untuk beriman. Termasuk anak kandungnya sendiri, yang tak juga beriman sampai batas Allah menenggelamkan seluruh umat Nuh.
Ia mengingat kisah Kanjeng Nabi yang menolak permintaan Jibril yang akan mengangkat gunung Thaif untuk menghancurkan musuh-musuh Kanjeng Nabi yang sudah keterlaluan dalam menyakiti, dan menghina Kanjeng Nabi dengan kata dan perbuatan.
Kisah Sayidina Ali juga hadir dalam benaknya, saat menantu Rasul tak jadi membunuh musuhnya meski Dzul Faqor telah terhunus persis di dada musuh yang jatuh terlentang di hadapannya. Pasalnya, musuh itu meludahi wajah Ali, sehingga membuat Ali khawatir membunuh musuh tak lagi lillah, tetapi pengaruh kemarahan dalam hatinya.
Kliwon mulai mencari akar persoalannya. Dalam suatu waktu ia menyimpulkan, perilaku para kelompok yang menggunakan cara-cara kekerasan itu, karena ketakutan (khouf) yang berlebihan terhadap siksa Allah. Rasa itu begitu kuat, sehingga membayang dalam benak mereka, untuk menjadikan siapapun seperti diri mereka. Tujuannya tentu saja agar mereka terhindar dari siksa Allah.
Kliwon terkekeh. Betapa naifnya cara berpikir mereka, ingin membebaskan diri dari siksa Allah, tetapi mengorbankan orang lain, bahkan tidak jarang menghancurkan sumber kehidupan sesama. (mukhotibmd)