Dulu di zaman Rasulullah, khotbah Jumat tak hanya pernah diinterupsi, tapi malah sempat ditinggalkan jemaah. Simaklah kisah Jabir bin Abdullah dalam kitab hadis Shahîh Muslim. Jumat siang itu di Madinah, jemaah sudah berkumpul mendengarkan khotbah Rasulullah. Saat sedang khusyuk meresapi mutiara kata-kata Rasul itu, tiba-tiba datang serombongan orang yang dikomandani Abdurrahman bin Auf, membawa unta-unta, dan di atas punggung unta-unta itu ada muatan berbagai dagangan dan pangan.
Tanpa dapat dicegah, jemaah berhamburan keluar menyongsong rombongan yang datang dari Syam, yang terkenal sebagai kota pusat perdagangan. Untungnya, tak semua jemaah ngeloyor, masih ada beberapa orang yang bertahan. Rasul pun, meski di tengah-tengah khotbah, segera bertanya kepada jemaah, “Ada berapa kalian?” Mereka kemudian menghitung jumlah yang tersisa. Rupanya masih ada duabelas orang, di antaranya Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Ibnu Mas’ud, dan Bilal. Juga beberapa dari kalangan Anshar.
Khotbah Rasul ditinggal jemaah? Rasul berbicara di luar konteks khotbah? Bertanya kepastian jumlah jemaah? Ini jelas kejadian ganjil. Khotbah selalu dikenal sebagai sebuah ceramah plus. Di atas mimbar, seorang pengkhotbah bagai raja yang menitahkan sabda pandita. Kata-katanya tak boleh disela. Juga tak boleh ditanggapi, apalagi dipertanyakan. Tak ada sesi pertanyaan dalam khotbah.
Jemaah wajib mendengar, tanpa sepatah pun boleh bicara. Bahkan, kalau ada salah seorang jemaah memperingatkan jemaah lain yang berisik dengan kata anshit (diam dan simaklah), ia termasuk orang yang lâ jum’ata lah, tidak mendapat pahala dan keutamaan Jumat. Padahal, ucapan itu bertujuan mulia, yakni mengajak jemaah lain untuk diam dan menyimak khotbah dengan baik. Namun apa boleh buat, ia tidak mendapat nilai apa-apa, bahkan bisa dosa dan menggugurkan pahala. Ucapan “diam” itu sendiri telah “mencemari” khotbah.
Belum lagi, khotbah juga dinilai sebagai pengganti dua rakaat salat zuhur. Pada hari Jumat, kaum muslim tidak salat zuhur empat rakaat, tapi dua. Lalu yang dua rakaat lagi? Khotbahlah penggantinya. Oleh karena itu, seperti halnya saat salat, ketika khotbah berlangsung, jemaah tak boleh bicara. Bicara hanya akan membatalkan ibadah Jumat, atau dalam tafsir yang lebih lunak, akan menggugurkan pahala Jumat. Dengan demikian, yang terjadi dalam sidang Jumat adalah komunikasi satu arah. Pengkhotbah terus bicara, tetapi jemaah dilarang merespon.
Entah karena posisi pengkhotbah yang begitu kuat itu, atau karena hal lain, khotbah akhirnya tak hanya menjadi sarana penyampaian ajaran agama, tetapi juga menjadi media yang cukup laris buat agitasi politik ataupun buat promosi mendukung kekuasaan. Lihatlah, apalagi pada khotbah Idul Fitri dan Idul Adha, menteri, pejabat partai, gubernur, bupati, semua sibuk membuat teks khotbah yang harus dibacakan—karena instruksi—kepada jemaah di daerah-daerah “kekuasaan”-nya Dan sudah dipastikan, tak bakal muncul pertanyaan dari jemaah, apalagi protes—karena khotbah tak memungkinkan jemaah terlibat interaktif.
Pemahaman dan praktik khotbah semacam itu terus berlangsung. Dan kita hampir tak tahu (atau tak pernah diberitahu?) bahwa itu tak pernah ada dalam Al-Quran, secara eksplisit maupun implisit. Kata-kata khotbah tidak disebut di sana. Kalaupun ada kata yang berakar kha-tha-ba, itu adalah khathbu (urusan), khithbah (meminang), dan khithâb (pembicaraan). Kata terakhir ini barangkali yang paling dekat dengan pengertian khotbah karena masih berkisar pada makna “berbicara”. Akan tetapi, khithâb dalam Al-Quran lebih cenderung bermakna “komunikasi interaktif”, tidak seperti khotbah yang “satu arah”. Malah bukan hanya interaktif, khithâb pun berarti “perdebatan”. Surat Shaad (38): 23, misalnya, berbunyi akfilnîhâ wa ‘azzanî fi al-khithâb ‘serahkanlah kambingmu itu kepadaku dan dia mengalahkan aku dalam perdebatan’.
Jadi, kita salah memahami duduk perkara khotbah? Sulitlah dijawab, tapi yang jelas, khotbah di zaman Nabi tak sekaku yang kita bayangkan. Kisah khotbah Nabi di awal tadi bukan satu-satunya contoh. Pernah pula, saat sedang berkhotbah, Nabi berbicara kepada salah seorang jemaah. Waktu itu seorang lelaki baru saja memasuki masjid, padahal khotbah sedang berlangsung. Apa sikap Nabi? Nabi ternyata tidak bersikap tak acuh, melainkan segera menanggapi, “Apakah engkau sudah salat?” “Belum,” jawab lelaki tadi. “Salatlah dua rakaat,” kata Nabi.
Di kesempatan lain, Nabi bahkan sempat meninggalkan sejenak khotbahnya. Ketika itu Abu Rifa’ah, salah seorang jemaah mengajukan pertanyaan, sementara Nabi tengah menyampaikan khotbahnya. “Ya Rasulullah, ada lelaki asing ke sini menanyakan hal-ihwal agama. Dia belum tahu seluk-beluk agama,” kata Abu Rifa’ah mengibaratkan dirinya sebagai lelaki asing. Nabi menghentikan khotbahnya, dan segera menghampiri Abu Rifa’ah. Lalu Nabi menerangkan panjang lebar tentang persoalan yang ditanyakannya. Setelah cukup, Nabi kembali naik mimbar menuntaskan khotbah.
Barangkali sekarang kita tak bakal menemukan sebuah khotbah yang disela, atau seorang pengkhotbah yang menghentikan khotbahnya lalu menghampiri seorang penanya buat menerangkan sebuah persoalan. Tak bakal kita jumpai, mungkin. Kenapa? Kita tak punya file pengetahuan agama yang mengabsahkan praktik itu. Kalau dulu semasa Nabi hidup, pengetahuan agama langsung bisa diakses dari “sumber”: Rasulullah. Orang bisa menyaksikan dengan mata telanjang bagaimana Nabi menjalani praktik agama, mengaktualisasikan nilai-nilai dari “langit”. Orang juga bisa merasakan situasi masyarakat saat Nabi melakukan praktik tersebut.
Namun sekarang, pengetahuan agama kita dapat dari ceramah kiai, petuah ustad, ajaran ulama atau, yang mau lebih serius, dari buku-buku—yang juga ditulis ulama atau ustad. Dan tentang khotbah, tak semua pengetahuan sampai kepada kita. Seperti sudah tersaring—atau memang disaring. Kita hanya menerima pengetahuan bahwa jemaah harus mendengar khotbah dan tak boleh bicara, apalagi menyela. Sebaliknya, kita tidak mendapat pengetahuan tentang bagaimana Nabi menghentikan khotbahnya hanya untuk menanggapi penanya. Kalaupun ini diinformasikan, diberilah catatan: kisah itu adalah pengecualian, tak boleh dijadikan acuan.
Hadis idzâ qulta li shâhibika anshit wal imâmu yakhthubu faqad laghauta (jika engkau mengatakan kepada temanmu “diamlah” sedangkan imam tengah berkhotbah, engkau telah berdosa) selalu diulang-ulang setiap Jumat, bahkan setiap kesempatan menerangkan khotbah. Sehingga anehnya, pengetahuan semacam itu disebut sebagai yang absah, sedangkan yang lain tidak absah, atau hanya “pengecualian”. Aneh, ataukah sebuah tabiat yang tak pernah disadari?
Syir’ah 26