Selain faktor geopolitik di Timur Tengah yang memicu lahirnya Islamic State of Iraq and al-Sham (ISIS), persoalan yang tak boleh diabaikan umat Islam ialah ide negara Islam atau khilafah. Sebab, pelarangan ISIS tak otomatis membuat pahamnya mati di negeri ini. Ide tentang khilafah dan pemberlakuan syariah akan terus menjadi perdebatan panas sebelum relasi antara Islam dan negara selesai disepakati oleh semua umat Islam. ISIS, dalam aspek ini, menjadi pelajaran penting.
Kita tahu, sebagian elemen umat Islam di negeri ini berupaya menghidupkan kembali institusi yang disebut khilafah itu. Yang membedakan mereka dengan ISIS hanya dalam metode. ISIS memakai kekerasan; bahkan sangat brutal. Tapi tujuannya sama, bahkan epistemologi penafsirannya juga sama. Artinya, ada potensi besar untuk lahir pejuang semacam “mujahid” ISIS, dengan satu dan lain bentuk. Oleh karena itu, kritik ide dan counter-tafsir penting adanya.
Pada hemat saya, mendirikan negara Islam dan menerapkan syariah (sebenarnya syariah artinya “jalan” dan lebih terkait ke soal metode, bukan hukum formal), secara retoris, tidak masalah. Kalau Indonesia sekarang ini sudah dianggap negara Islam(i) dan syar’i, ya tidak masalah. Yang jadi masalah ialah isinya. Jika yang dipentingkan dari syariah adalah substansinya, yakni keadilan (yang disebut al-Quran sebagai “dekat kepada takwa”; aqrabu lit-taqwa), ya oke-oke saja.
Terlepas dari soal peristilahan itu, ide khilafah sebagaimana dipahami ISIS, juga sebagian gerakan Islam di negeri ini, jika dihidupkan kembali, maka artinya kita bergerak mundur, setback ke abad pertengahan. Beberapa institusi dalam khilafah adalah cerminan zamannya dan tak lagi kompatibel dengan era modern dan demokrasi.
Satu contoh terbaik ialah pemberlakuan jizyah (pajak kepala) dan non-Muslim dzimmi yang dianggap warga negara kelas dua. Praktek ini pernah berlaku di zaman khilafah dulu. ISIS memberlakukan hal itu kepada umat Kristen di Mosul, Irak, yang diberi hanya tiga pilihan jika mereka tetap berada di wilayah kekuasaan ISIS: masuk Islam, bayar jizyah, atau diperangi. Akhirnya, umat Kristen memilih keluar mengungsi dari Mosul. (Satu pertanyaan penting dari fenomena ini: apa beda ISIS dengan mereka di Sampang yang mengusir orang Syiah dari kampungnya dan hanya boleh kembali kalau jadi Sunni? Sama-sama pemaksaan!)
Akibat lain dari ide khilafah, yang merupakan produk zamannya, ialah munculnya pemaksaan tafsir dari mazhab atau aliran tertentu jika mazhab itu memegang kekuasaan; sama dengan ketika Kristen-Katolik jadi mazhab negara Romawi dan aliran yang dianggap bidah (heresy) dipersekusi—maka Kristen yang “tak resmi” juga Yahudi dulu lebih senang berada di bawah Daulah Islam yang menjami kebebesan beragama sementara ISIS kini adalah sebaliknya.
Perilaku ISIS adalah contoh manifestasi “negara” atau khilafah yang memaksakan tafsir. Dengan tafsirnya yang ultra-puritan, ISIS menghancurkan kuburan (karena dianggap sumber syirik), patung-patung pengenang figur-figur besar sejarah (karena disamakan dengan berhala), bahkan rumah ibadah agama lain. Padahal al-Quran (22:40) melarang mengusir orang dari kampungnya dan merusak rumah ibadah di mana disebut nama Allah di dalamnya—tindakan ISIS terhadap Kristiani Irak, dengan begitu, adalah pelanggaran terhadap ajaran al-Qur’an.
Di atas segalanya, perilaku ISIS sangat bertentangan dengan prinsip dasar nan jelas yang digariskan al-Quran: Tiada paksaan dalam beragama (la ikraha fid-din). Fenomena ISIS perlu jadi pelajaran tentang potensi bahaya radikalisasi agama dan penafsiran tekstual. Juga, tentang pondasi Indonesia yang, dalam soal relasi Islam-negara, secara teoritis sudah bagus. Mestinya negara-negara Timur Tengah yang perlu menengok Indonesia, bukan umat Islam Indonesia yang mencontoh atau bahkan membawa-bawa “virus” dari sana ke sini.
*Aziz Anwar Fachrudin