Khilafah Bukan Solusi Atasi Konflik Palestina-Israel

Khilafah Bukan Solusi Atasi Konflik Palestina-Israel

Khilafah Bukan Solusi Atasi Konflik Palestina-Israel

Berjubel orang memadati Monumen Nasional (Monas) untuk aksi solidaritas bela Palestina, Ahad (17/12) kemarin. Aksi ini digelar untuk menyuarakan kedaulatan Palestina wa bil khusus memprotes Presiden AS, Donald Trump yang mengakui Palestina sebagai Ibu Kota Israel. Peserta aksi pun terhitung cukup beragam. Warga sipil, Ormas, pemerintah, wakil rakyat, selebriti dan beberapa kelas lainnya berbondong-bondong mengisi akhir pekan dengan segudang kepedulian.

Selain di Monas, aksi solidaritas juga terdapat di beberapa wilayah lain termasuk turut ramai dibicarakan sampai-sampai menjadi trending topik di media sosial kita. Tentu, dukungan kepada Palestina ini, perlu disambut dengan positif. Sebab di satu pihak, apa yang terjadi di Palestina terbukti mampu menyatukan kita untuk kian solid dan peduli kepada saudara-saudara di Palestina dan seyogyanya kita sikapi dengan penuh rasa syukur atas nikmat Tuhan berupa negara yang berdaulat adil dan makmur di pihak lain.

Kendati pun begitu, solidaritas kepada Palestina bukanlah barang baru. Presiden pertama kita, Ir. Sukarno misalnya, di tahun 1962 pada perhelatan Games of the New Emerging Forces (GANEFO) mengatakan, bahwa selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menentang penjajahan Israel.

Sayangnya, konflik yang selama ini meradang Palestina itu terkadang dipersempit cakupannya seolah-olah menjadi zona agama an sich oleh segelintir kelompok. Ya, Khilafah kembali menggema beberapa waktu lalu. Salah satunya adalah ketika berlangsung unjuk rasa jilid I di depan Kedubes Amerika Serikat di Jakarta pra-Monas (13/12). Tidak sedikit kita saksikan baner atau baliho mengkampanyekan “Khilafah dan Jihad sebagai solusi mengatasi konflik di Timur Tengah” tersebut.

Nampak dalam foto yang cukup viral beredar di lini masa media sosial, barisan pembawa atribut unjuk rasa itu kebanyakan dari kaum muda-mudi kita. Tapi bukan itu poin saya. Akan tetapi, lebih kepada poster berbahasa Inggris yang mereka junjung dengan tajuk “we need khilafah, not democracy”. Ini menggelikan. Betapa tidak, wong bagaimana mungkin anti demokrasi sementara narasi itu berdenyut dalam nadi yang dialergikan. Ya, tidak lain dan tidak bukan, unjuk rasa sebagai salah satu perangkat demokrasi.

Lebih bebal lagi, sepekan sebelum aksi di Monas, sebagaimana diberitakan oleh laman detik.com (11/12), dalam aksi yang mengatasnamakan 1112 di Bandung, terpotret sebaris bocah yang menjereng poster dengan redaksi “kirimkan tentara Muslim untuk membebaskan Palestina” di tengah kerumunan pengunjuk rasa itu.

Sungguh memprihatinkan. Saya tidak tahu siapa pula gerangan yang sampai hati mengikutsertakan anak-anak dalam demonstrasi yang sejatinya bukan ranah bocah. Apalagi jika belum baligh. Semoga saja kedepannya anak-anak itu tidak memiliki mindset bahwa menjadi tentara itu harus Islam.

Lepas dari dua kewaguan itu, jujur, saya pun merupakan barisan sakit hati yang turut prihatin dengan apa yang terjadi di Palestina terlebih dengan sikap Trump, meski keprihatinan itu tidak berarti apa-apa dan mungkin tidak merubah keadaan, ketimbang mereka yang melakukan aksi nyata.

Akhirnya, dengan segala keterbatasan, hanya doa dan harapan yang bisa saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk kemanusiaan yang adil dan beradab serta kedaulatan rakyat Palestina. Namun sebelum antum memberi saya predikat adh’aful iman, setidaknya penting untuk diperhatikan oleh para akhwat dan ikhwan sekalian, bahwa dalam menyampaikan aspirasi atau rasa kepedulian kita kepada saudara seiman maupun sesama manusia, seyogyanya tunjukkan dengan sikap yang elegan. Tidak nyidat (baca: jalan pintas), seperti khilafah.

Khilafah tidak lantas menjadikan anda kaffah. Dan khilafah juga bukan yang dibutuhkan oleh rakyat Palestina. Toh, masyarakat Palestina terdiri beragam kelompok, bukan hanya Islam an sich. Bahkan rasa nasionalisme mereka sangat tinggi terhadap negaranya sendiri. Tanpa perlu dalil—laiknya kicauan Felix Siaw di twitter bahwa nasionalisme gak ada dalilnya.

Bagaimana kita mau membela negara Palestina jika nasionalisme terhadap negara kita sendiri saja tidak punya? Demokrasi bagian dari Indonesia dan Palestina, yang di dalamnya meniscayakan keadilan, kesetaraan dihadapan hukum, dan prinsip syuro (musyawarah) dapat terwujud. Sehingga terciptalah masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, dan sentosa. Wallahhu a’lam.

Anwar Kurniawan, pegiat di Islami Institute yang bercita-cita sekolah ke Timur Tengah.