Setelah tuntas menelusuri peta manusia dalam posisi dan potensinya sebagai hamba Allah (Abdullah) dan sebaik-baik ciptaan-Nya (ahsani taqwiim), maka tibalah kita untuk mengerti tahapan ultimate dari fungsi keberadaan manusia, yakni: khalifah; yang dapat diartikan sebagai wakil, duta, ataupun pengelola.
Dalam soal ini, sebenarnya saya penasaran, kira-kira apa sih yang terlintas di benak Anda ketika terdengar kata khalifah? Apakah sosok-sosok pemimpin ideal seperti Abu Bakar dan Umar? Ataukah yang muncul di ingatan Anda adalah para pemimpin dan tokoh politik yang sekarang memegang tampuk pemerintahan? Pada tingkatan apa? Lurah, Camat, Gubernur, Presiden, atau Sekjen PBB? Yang mana yang Khalifah?
Atau, hei, jangan-jangan Anda kepikiran HTI, ya? Saya curiga, jangan-jangan ketika mendengar khalifah, Anda ujug-ujug teringat pada Koh Felix Siauw sebagai eksponen utama yang menggembor-gemborkan semangat kekhilafahan itu?
Tapi, terlepas dari kekisruhan politik yang melibatkan HTI, tulisan ini tak sedang dalam rangka mengupas soal-soal yang begitu itu.
Justru saya berharap, semoga Anda nggak mikir aneh-aneh seperti prasangka saya di atas. Semoga Anda adalah golongan saleh-salehah yang sekadar dengan pancingan kata khalifah tadi, segera terpantik kesadaran dan penalaran Anda pada apa-apa yang berangkatnya dari kebenaran wawasan Qur’ani.
Khalifah sendiri memiliki akar kata khulafa yang berarti pengganti atau di belakang. Itulah mengapa, dulu Abu Bakar disebut sebagai khalifah Rasul, atau pengganti Rasulullah saw. Kemudian Umar digelari khalifah khalifah Rasul, atau pengganti dari penggantinya Rasulullah saw. Kelak, karena karena terlalu panjang, Usman bin Affan hanya dipanggil khalifah saja. Mulai saat itulah, kata khalifah kemudian tersemat pada pemimpin umat Islam.
Kalau Anda berpikir bahwa khalifah adalah pemimpin dan kekhalifahan adalah suatu mekanisme pemerintahan, pengelolaan wilayah, atau amanah kekuasaan maka itu sah-sah saja. Mengapa? Karena Allah sendiri yang menyampaikan konsep itu melalui kisah Nabi Daud melawan Jalut dalam Qs Shad: 26, meskipun kemudian tidak bisa secara serampangan kita artikan kekhalifahan dalam bentuk-bentuk sistem politik, pemerintahan, atau kenegaraan.
Berdampingan dengan kisah Nabi Daud yang diberi kekuasaan dalam kaitannya dengan kekhalifahan, kita juga sudah sering mendengar adegan dialog antara Allah dengan Malaikat perihal penciptaan Nabi Adam yang akan dijadikan khalifah yang terekam dalam Qs Al Baqarah [2]: 30.
Dari sana kita bisa menangkap bahwa kekhalifahan memiliki beberapa unsur pokok yang saling berkaitan satu sama lain, yakni: (1) manusianya (khalifah), (2) wilayah (dalam konteks Al Baqarah adalah bumi, atau ardh), dan (3) hubungan antara keduanya.
Sebenarnya, terdapat satu unsur yang jauh lebih krusial dibanding ketiga unsur di atas dalam hal kekhalifahan. Ya, Dia adalah pihak yang memberi penugasan kekhalifahan, yaitu Allah SWT. Dijadikannya manusia sebagai khalifah, tak hanya karena memlikiki kelebihan-kelebihan dibanding makhlukNya yang lain, melainkan memang by design Allah tundukkan alam raya untuk manusia kelola, seperti yang dapat kita cermati dari Q.S. Zukhruf ayat 32.
Oleh karena segala muasal kekhalifahan berangkatnya dari Allah, maka sistem pengelolaan wilayah maupun alam raya haruslah terbingkai dalam dinamika hubungan yang saling sambung antara manusia-alam-Tuhan. Tanpa spirit rahmatan lil alamin dan berpegang teguh pada kewahyuan Ilahi, manusia hanya akan tersungkur ke jurang kerakusan yang menghancurkan.
Sebab alam, dengan segala yang dimilikinya, bukanlah budak manusia. Alam, yang ditundukkan oleh Allah agar dimanfaatkan (atau lebih tepatnya dikelola) oleh manusia, adalah dalam rangka bersama-sama menjalani kepatuhan makhluk padaNya. Simbiosis manusia dengan alam bukanlah hubungan hierarkis, melainkan sebuah ke-saling-dukung-an untuk mencapai ridhoNya.
Dengan cara berpikir demikian, mestinya kita akan menjadi lebih ayem, bahwa rupanya, konsep kekhalifahan dengan pengelolaan wilayah atau alam raya tak melulu berkait dengan soal kekuasaan. Khalifah tak berarti selalu pemimpin umat, organisasi, atau satuan-satuan politik pemerintahan. Khalifah bisa siapapun, yang telah utuh memahami dirinya dalam hubungannya dengan alam dan Tuhan.
Jadi kalau esok pagi Anda membuat kopi susu demi membahagiakan suami, sebenarnya itu pun sudah bagian dari proses kekhalifahan, meskipun terlihat seperti aktivitas receh saja. Lha memasak air agar panas dan bisa dijadikan minuman enak itu kan termasuk dari pengelolaan juga, to? Saya yakin, seromantis-romantisnya sepasang Love Bird, nggak mungkin bisa masak air, apalagi menyajikan kopi susu buat pasangannya. Kopi susu adalah karya kekhalifahan manusia.
Belum lagi kalau kita mau mengangkat banyaknya rekayasa kehidupan yang telah dikerjakan manusia abad modern ini. Betapa sebenarnya, hal-hal di sekitaran kita yang tampak biasa-biasa saja, adalah buah dari proses manusia meng-khalifah-i alam raya.
Baju, umpamanya. Bukankah keterjadian baju adalah cerita panjang yang sangat kompleks: menemukan dan mengamati kapas, memahami struktur material bahannya, menumbuhkan pohon-pohon dalam jumlah banyak, melakukan mobilisasi buah-buah kapas, menemukan mesin pintal, melakukan proses pemintalan hingga menjadi kain, memotongi dengan ukuran presisi, lalu menjahitnya menjadi baju slim fit yang sehari-hari kita kenakan tanpa ingat lagi proses-proses yang melatarbelakangi kejadiannya. Bukankah itu semua adalah proses pengelolaan alam dan kehidupan?
Jadi, sekali lagi, amanah khalifah itu, tak hanya dibebankan pada mereka yang sedang memegang tampuk kekuasaan. Atau mereka-mereka yang menjalankan peran dalam pemerintahan. Selama Anda mengaku manusia, maka Anda mustilah berfungsi sebagai khalifah, dalam lingkup dan skala masing-masing.
PR manusia abad ini, yang telah banyak memanfaatkan, mengelola, dan merekayasa alam dengan kecanggihan teknologi, tak hanya pada menjaga hubungan baik dengan Sang Pemberi amanah kekhalifahan, melainkan juga dengan alam raya yang sering tak dianggap sebagai sesama makhlukNya.