Pada hakikatnya, beragama adalah memahami dan mengamalkan, iman dan amal. Dalam proses memahami ajaran agama yang kemudian terejawantah dalam tindakan, ada keberagaman. Sumber dan teks-teks keagamaan memang satu. Akan tetapi, dari yang satu itu dapat melahirkan tafsir yang beragam. Inilah yang sering kali dilupakan dan memunculkan obsesi untuk menyeragamkan penafsiran atas teks keagamaan.
Dalam pembukaan International Conference on Religious Moderation (ICROM) 2023, KH. Lukman Hakim Saifuddin (Menteri Agama RI 2014–2019) menyampaikan bahwa teks keagamaan itu multitafsir. Oleh karena itu, upaya menyeragamkan penafsiran tidak mungkin dilakukan.
“Jangan punya obsesi untuk menyeragamkan. Tuhan sendiri memang menghendaki keberagaman,” tegas KH. Lukman Hakim Saifudin.
Keberagaman penafsiran ini dapat lahir dari titik pijak yang beragam, wawasan yang tak sama, serta budaya dan nilai-nilai yang berlainan.
Baca Juga: Tafsir Surat Al-Maidah Ayat 48, Bukti Allah SWT Menghendaki Keragaman
Lebih lanjut, KH. Lukman Hakim Saifudin menyampaikan bahwa secara sederhana, ajaran agama dapat dikategorikan menjadi dua, yakni ajaran universal dan partikular. Ajaran universal ini bersifat pokok atau ushuliyah. Ajaran ini diyakini oleh seluruh manusia di dunia tanpa terkecuali. Termasuk di dalamnya adalah ajaran mengenai menjaga persaudaraan dan mewujudkan kedamaian.
Sementara kategori kedua, yakni ajaran partikular, bersifat cabang atau furu’iyah. Umat penganut agama yang sama pun dapat memiliki definisi kebenaran yang berbeda-beda. Perbedaan banyak berada dalam kategori ini. Sayangnya, kita sering kali terlalu sering menghabiskan energi dan sumber daya untuk mengurusi hal-hal yang berada dalam wilayah partikular.
Oleh karena itu, setidaknya ada dua kemampuan yang harus kita miliki untuk menyikapi keberagaman. Pertama yaitu kemampuan untuk memahami hakikat dan makna keragaman.
“Jangan pernah punya anggapan bahwa perbedaan itu ancaman. Perbedaan itu rahmat, anugerah yang Tuhan berikan kita kepada kita,” ujar KH. Lukman Hakim Saifudin.
Kedua yaitu kemampuan untuk memilah mana yang merupakan ajaran agama universal dan dan mana yang partikular.Hal-hal partikular seyogyanya tidak perlu terlalu banyak dibawa ke ruang publik karena dapat mengamplifikasi perbedaan. Sementara itu, pada titik ini, kita harus kembali mengingat bahwa yang berbeda itu tidak perlu dihadap-hadapkan maupun dibentur-benturkan. Menyikapi perbedaan cukup dengan bersifat toleran.
“Semoga kehidupan dunia senantiasa terjaga dengan nilai-nilai agama, nilai-nilai yang Tuhan turunkan pada hakikatnya supaya kemanusiaan kita terjaga, sebagai hamba Tuhan sekaligus sebagai pengelola alam semesta ini,” pungkas KH. Lukman Hakim Saifudin. [NH]