Saya mengenal pertama kali KH Hasyim Muzadi sekitar tahun 99-an. Senior saya di Forum Piramida Circle Ciputat Muhammad Ghozi Alfatih yang memperkenalkannya. Waktu itu, Cak Ghozi, begitu saya memangilnya, menjadi salah seorang staf Kiai Hasyim dan sehari-hari mendampingi beliau, termasuk jika keluar kota. Jadi, soal-soal keislaman atau perihal NU dan kiprah beliau lain, sering saya dapat dari Cak Ghozi saat kami obrol ringan, diskusi, atau main karambol dan remi.
Setelah Gus Dur dipilih menjadi Presiden, KH Hasyim menjadi tokoh penting dalam pucuk kepemimpinan NU. Beliau menjalankan organisasi NU di tengah-tengah situasi transisi Indonesia.
Saya tidak punya kemewahan untuk mengenal dan bertemu lebih banyak dengan beliau sepanjang hayatnya. Beberapa pernyataannya tentang kelompok yang disebutnya liberal dan bakal merusak NU kadang-kadang kurang saya pahami dan bikin panas pihak yang tertuju. Begitupun kritik yang konsisten yang disuarakan tentang wahabisme dan gerakan transnasionalisme.
Jika melihat kiprahnya kita bisa dengan segera menyimpulkan bahwa lebih dari separuh hidupnya dihibahkan untuk umat. Bergerak dari ranting hingga pengurus besar.
Di panggung-panggung ceramah agama, KH Hasyim tokoh yang mampu memaku jemaahnya memperhatikan ucapannya, bahkan memaksa mereka terkekeh-kekeh. Begitupun di forum-forum ilmiah. Salah satu kekhasannya adalah membolak-balik kata. Misalnya, ungkapan salah paham atau paham yang salah.
Beliau bukan hanya seorang kiai, ulama, yang paham kitab kuning. Beliau seorang organisatoris yang handal yang sudah ditempa pengalaman sejak muda.
Beliau juga punya kemampuan di lapangan politik yang tidak mudah ditebak. Beliau pernah menjadi kandidat presiden. Pada KH Hasyim, tergambar sosok ulama-organisatoris.
Pagi ini saya mendengar kabar duka, beliu telah pergi. Kita betul-betul kehilangan ulama NU yang berpengaruh. Bukan hanya NU, bangsa ini juga kehilangan sosok tokoh bangsa. Berharap bakal lahir sosok baru yang meneruskan gagasan dan perjuangan beliau.