Kupat adalah ngaku lepat (mengaku salah) dan laku papat (empat laku). Misalnya, sungkeman adalah bentuk pengakuan yang indah karena biasanya dilakukan kepada orang tua dan orang-orang lain yang lebih tua. Ini mengajarkan penghormatan, berbakti, rendah hati, dan memohon keikhlasan dan maaf dari orang tua, dengan harapan orang tua mendoakan anak-anaknya agar diampuni; doa orang tua, seperti kita tahu, lebih ijabah dalam pengertian ini.
Sedangkan laku papat adalah lebaran, luberan, leburan dan laburan. Lebar dalam bahasa jawa berarti ”selesai”, sebagai tanda berakhirnya bulan ramadhan, dan terbukanya pintu ampunan. Luberan adalah melimpah, sebagai simbol ajaran untuk melimpahkan rezeki, baik yang wajib maupun sunnah: zakat, sedekah kepada keponakan-keponakan, tetangga (dengan mengirim atau bertukar makanan, dan sebagainya) – yang secara umum adalah bentuk kepedulian sosial.
Leburan adalah melebur, yakni meleburkan dosa dan kesalahan diri kita dan orang lain dengan saling memaafkan, agar ”energi negatif kolektif” berupa dendam, benci, dan amarah, diubah menjadi ”energi positif kolektif” – kasih sayang, saling berbuat baik, dan seterusnya. Dan laburan adalah ”melabur” dengan kapur, yakni memutihkan – berarti memutihkan hati dan menjaganya agar tetap putih (bersih). Tidak heran jika dalam tradisi di jawa kita pada masa lebaran sering mendengar ungkapan semacam ”parikan” yakni ”kupat santen, kawulo lepat nyuwun ngapunten.”
Jadi, apapun kualitas puasa kita, entah puasa awam atau khusus dan sangat khusus, Allah tetap memberikan balasan dan peluang untuk memperbaiki diri melalui puasa lantaran Rahmat dan Kasih-Sayang-Nya. Yang penting adalah, meski kita masih berpuasa ala kadarnya, paling tidak tumbuh kesadaran melalui pendidikan ruhani via puasa dan idul fitri, yang terus diulang setiap tahun selama kita masih hidup dan mampu, bahwa puasa dan kebajikan sosial adalah dua hal yang melambangkan tajalli dari tindakan-Nya dan sifat-sifat-Nya, mengingatkan kita bahwa pada hakikatnya apapun yang kita lakukan tidak akan pernah lepas dari-Nya, baik dalam ibadah individu maupun sosial, baik dalam kesalehan individu maupun kesalehan sosial.
Jika kesadaran ini terus dilatih, maka seseorang insya Alah, dengan izin-Nya, akan selalu mengembalikan segala urusan kepada-Nya, selalu mengingat-Nya, yang berarti orang secara tak langsung diajak berzikir dalam setiap tindakan tanpa dia sadari.
Pada akhirnya, jika istiqomah melatih kesadaran ruhani melalui puasa wajib dan sunah, orang akan memahami bahwa inna lillahi wa inna ilaihi rojiun bukan hanya soal kematian, tetapi juga dalam soal kehidupan; kanjeng Nabi bersabda, ”Matilah sebelum engkau mati.”
Maka, bagi orang yang berpuasa (dengan benar) ia akan menemui dua kegembiraan: “di saat berbuka dan bertemu dengan Tuhannya.” Manusia “berbuka puasa” dalam arti bahwa dengan berlatih menghilangkan hijab-hijab kedirian agar hati menjadi bersih melalui tindakan menahan hawa-nafsu, sehingga sampai terbuka mata hati dan ruhaninya, menyaksikan kebesaran Allah dan sifat-sifat Allah dalam setiap ciptaan, dan pada gilirannya ia akan bertemu dengan Tuhannya, dalam keadaan sebagaimana pertama kali ia diciptakan, yakni dalam keadaan fitrah. Wa Allahu a’lam
embahNyutz | dapat disapa via twitter @embahnyutz