Mungkin belum luntur dalam ingatan kita semua, kasus pemotongan tanda salib pada nisan di salah satu daerah di Yogyakarta. Kasus tersebut terjadi disebabkan tanda salib dianggap sebagai simbol agama tertentu dilarang karena berada di wilayah yang disepakati sebagai pemakaman muslim.
Ribuan kilometer dari Yogyakarta, di tahun 2016, seorang perempuan Muslim Prancis bernama Siam mengaku didenda dan mengalami pelecehan rasisme karena mengenakan jilbab, lebih tepatnya burkini, di pantai Cannes. Kasus yang terjadi di Perancis ini, diawali dengan munculnya larangan penggunaan burkini, pakaian renang yang menutup seluruh tubuh, oleh Walikota Cannes, David Lisnard. Sang Walikota menganggap bahwa pakaian tersebut adalah ‘simbol paham ekstrem’ dan kemungkinan mencetuskan pertikaian.
Kesamaan dari kedua kasus di atas adalah penggunaan narasi simbol agama yang muncul di ruang publik. Mensejajarkan antara simbol salib dan burkini atau jilbab sebagai simbol agama adalah hal yang masih bisa diperdebatkan, tapi di sanalah keunikan kata ‘simbol’ termasuk simbol agama. Simbol agama adalah objek yang diberikan makna oleh manusia. Di sinilah permasalahan muncul, perbedaan pendapat apakah sebuah objek tersebut masuk sebagai simbol agama atau tidak. Peran legitimasi dan relasi kuasa sangat berpengaruh dalam persoalan ini.
Kasus simbol agama memang terus menjadi perbincangan hangat dalam diskursus agama sepanjang sejarah hingga sekarang. Indonesia dan Perancis, sebagaimana contoh di atas, adalah dua negara yang sangat berbeda dalam memandang simbol agama, bahkan sampai berbeda kasus per kasus di dua negara tersebut.
Sekarang hal yang berkelindan dalam persoalan simbol agama di ruang publik, tidak sekedar ayat atau hadis yang diajukan oleh otoritas keagamaan, hingga sejarah dan konstruksi sosial juga memberikan pengaruh pada persoalan ini. Sebagaimana kasus yang terulang hingga sekarang di Indonesia, perdebatan akan topi santa dan atribut natal lainnya dipakai oleh orang yang beragama muslim. Polaritas pendapat ini cuma meruncing selama momen natal atau bulan Desember, berbagai medium dipakai untuk menyampaikan pendapatnya di kedua belah pihak, baik yang menolak dan yang memperbolehkan.
Simbol Agama dan Dekadensi Ruang Publik
Memperbincangkan ‘agama’ dari sudut manapun selalu menjadi perbincangan yang tidak akan pernah habisnya. Hadirnya simbol agama di ruang publik saja masih hangat dan ramai diperbincangkan hingga sekarang. Dua kasus di awal ditambah kasus topi santa dan atribut natal hanyalah sebagian kecil dari berbagai kasus yang ada di dunia ini.
Di banyak negara, terutama negara-negara Eropa, simbol agama sering dibenturkan dengan sekulerisme, sebuah paham yang dianggap bagian dari kehidupan masyarakat modern. Talal Asad, antropolog kelahiran Arab Saudi, menambahkan selain kebebasan dalam ekspresi beragama, kehidupan modern juga berdampak pada mencuatnya sistem kapitalisme dan kolonialisme di dalam model pemerintahan nation-state.
Talal Asad menegaskan walau semua negara diklaim sebagai negara modern, Inggris, Perancis dan Amerika, memiliki pengalaman dan model tersendiri dalam hubungan antara agama dan negara. Belum lagi gagasan dari masing-masing kelompok dalam memaknai toleransi atau hubungan antar agama juga berbeda-beda. Sehingga agama yang tampil di ruang publik juga berbeda-beda formatnya.
Perancis dalam perjalanannya sebagai bangsa, memiliki sejarah yang cukup kelam soal hubungan agama dan negara. Agama memiliki pengaruh khusus dalam pemerintahan yang dihancurkan oleh rakyat Perancis di abad pertengahan. Berbeda dengan Inggris yang sampai sekarang agama Kristen Anglikan masih berhubungan dengan kekuasaan, bahkan raja atau ratu adalah pimpinan gereja tersebut.
Negara Perancis menterjemahkan sekulerisme dalam bentuk pemisahan agama dari ruang publik yang bebas dari nilai agama manapun, inilah yang membuat Perancis melarang semua simbol agama apapun tidak boleh dipakai dalam ruang publik. Trauma akan agama yang muncul di ruang publik menjadi collective unconsiusness masyarakat Perancis.
Pelarangan ini paling dirasakan dampaknya pada masyarakat muslim, terutama yang imigran di sana. Sebab jilbab atau hijab telah dilarang sejak tahun 1990an. Dengan segala kondisi dan kontroversi yang ditimbulkan dari peraturan pemerintah tersebut, Perancis dan masyarakat beragama di sana terus menjalani konflik, negosiasi, dan represi untuk membentuk sebuah ruang publik yang terus berdialektika dengan segala kondisinya.
Keadaan yang sama sebenarnya terjadi di Indonesia. Kasus tanda salib di Yogyakarta, kasus azan di Medan, atau kasus cadar di UIN Yogyakarta adalah bagian dari proses pembentukan ruang publik di Indonesia. Memang, proses ini tidaklah mudah dan banyak menguras emosi dan airmata. Apalagi ruang publik sekarang sudah ditekan habis, sehingga partisipasi masyarakat dalam membentuk ruang publik sudah terkikis habis.
Kemerosotan ruang publik diakibatkan oleh dua hal. Pertama, pertumbuhan media massa komersial, sehingga masyarakat menjadi konsumen pasif dan ini berakibat pada masyarakat lebih berpikir hal-hal yang bersifat privat dan mengabaikan nilai-nilai kebaikan bersama.
Kedua, peran negara yang begitu besar di ranah publik, sehingga negara terlalu mengambil peran dalam kehidupan dan aktuvitas publik. Dampak yang muncul adalah terkikisnya batas antara ranah privat dan publik, yang membuat ranah publik menjadi wadah konstestasi eksploitasi sumber daya negara untuk kepentingan pribadi, ketimbang memperjuangkan kepentingan publik.
Kemunculan simbol agama dalam ranah publik yang merosot inilah, permasalahan seperti penglarangan hijab di Perancis, pemotongan tanda salib di Yogyakarta, dan perdebatan soal topi santa dan atribut natal menjadikan konsumsi publik secara luas dan lebih parah lagi menjadikan publik yang abai akan nilai-nilai kebersamaan atau kepentingan publik.
Fatahallahu alaihi futuh al-arifin