Idul Fitri merupakan hari raya yang memiliki nilai istimewa bagi kaum muslimin setelah mereka melaksanakan berbagai macam rangkaian ibadah di bulan Ramadan. pada hari raya tersebut kaum muslimin biasanya saling mengunjungi antara satu dengan lainnya. Hal tersebut dilakukan dalam rangka menyambung tali silaturahim, serta saling maaf memaafkan atas dosa yang pernah dilakukan, baik yang sengaja ataupun yang tidak sengaja, dengan harapan, bahwasannya saling memaafkan diantara mereka bisa menyempurnakan amal ibadah yang telah mereka laksanakan saat bulan ramadan.
Selain sebagai momentum untuk saling menyambung silaturahim diantara mereka, setelah hari pertama idul fitri, biasanya kaum muslimin juga berlomba-lomba melaksanakan amalan puasa sunah syawal yang memiliki keutamaan sendiri di hadapan Allah SWT. Namun, yang perlu diingat, terkadang ketika sedang melaksanakan puasa sunah syawal ada beberapa saudara, kerabat, teman, serta orang-orang dekat yang mengajak kita untuk bersilaturahim ke beberapa kerabat yang belum dilakukan pada hari pertama Idul Fitri.
Dari kejadian tersebut, muncullah sebuah pertanyaan, bolehkah ketika sedang berpuasa syawal, kita membatalkannya ketika sedang berkunjung ataupun dikunjungi dalam rangka menyambung silaturahim dengan sanak saudara, kerabat ataupun teman?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita perlu merujuk kepada pendapat ulama tentang membatalkan puasa sunah secara sengaja, apakah hal tersebut diperbolehkan? Ataukah tidak, dan bagi yang melaksanakannya wajib melakukan qodo puasa sunah yang telah dibatalkannya tersebut, ataukah tidak?
Mayoritas ulama dari mazhab syafi’I dan mazhab hambali memperbolehkan seorang muslim membatalkan puasa sunah yang telah diniatkan sebelumnya tanpa harus mengqodo puasa tersebut. Karena sejatinya, puasa tersebut merupakan puasa yang hukumnya sunah dan tidak diwajibkan untuk dilaksanakan.
Pendapat mereka didasari oleh beberapa hadis. Diantaranya riwayat ummul mukminin Aisyah RA yang meriwayatkan bahwasannya suatu ketika Rasulullah SAW datang ke rumah dan beliau bertanya “apakah kalian memiliki sesuatu untuk dimakan?”, kamipun menjawab: “tidak wahai Rasulullah”. Beliaupun berkata: “kalau begitu hari ini aku berpuasa”. Kemudian pada hari lainnya, ketika beliau datang ke rumah, kami berkata kepadanya “wahai Rasulullah kita telah dihadiahi bubur, beliaupun berkata “bawakan kepadaku, sebenarnya aku telah berniat untuk berpuasa, namun, beliaupun lalu memakannya” (HR. Muslim)
Sedangkan beberapa ulama dari Mazhab Hanafi tidak memperbolehkan untuk membatalkan puasa sunah ketika memang sudah diniatkan. Dan jika seseorang membatalkannya ia wajib mengqodonya. Pendapat merekapun dilandasi oleh beberapa riwayat, diantaranya dengan hadis yang telah disebutkan dengan, beberapa redaksi yang ditambah
“beliaupun lalu memakannya, dan berkata “aku akan berpuasa di hari lain sebagai gantinya”.
Namun yang perlu menjadi catatan, bahwasannya tambahan redaksi dalam hadis yang dijadikan landasan oleh sebagian ulama dari mazhab Hanafi tersebut dinilai lemah oleh beberapa ulama hadis seperti Imam Nasai, al-Baihaqi, serta Al-Daruquthni.
Berdasarkan hal tersebut kita dapat menyimpulkan bahwasannya membatalkan puasa sunah, apalagi karena alasan tidak ingin menyakiti hati kerabat yang sedang kita kunjungi atau sedang mengunjungi kita, hukumnya diperbolehkan dan tidak wajib mengqodonya menurut pendapat yang arjah (lebih kuat).