Apa yang aku ceritakan dalam tulisan ini senyatanya adalah kisah nyata belaka tanpa ada rekayasa. Kalaupun ada dramatisasi, mohon maklumilah, karena sebagai seorang ustadz yang terbiasa harus bisa menghadapi public speaking, sehari-hari memang saya dituntut untuk bisa mendramatisasi persoalan sesederhana mungkin agar tampak semenarik mungkin.
Baiklah, jadi begini ceritanya. Saya divonis mengalami gejala depresi ringan. Ini ketahuan ketika saya menerima vasilitas yang diberikan oleh kantor tempat saya menjadi kontributor. Beberapa hari yang lalu mereka membagikan sembako dan pilihan layanan konsultasi bagi karyawan dan kontributor yang tentu saja terdampak pandemi. Ada dua layanan yang mereka tawarkan. Layanan kesehatan dan layanan psikologi. Karena saya merasa tubuh saya bugar dan tipe orang yang tak mau melewatkan gratisan, maka saya ambil layanan psikolog.
Maka berbincanglah saya dengan seorang psikolog yang jelas bukan abal-abal karena ia telah memiliki izin praktik. Ia bertanya tentang apa yang saya rasakan dan apa yang saya inginkan ke depan. Saya ceritakan bahwa saya merasa kurang produktif di masa pandemi ini dan ingin menjadi lebih produktif. Tentu saja saya tidak akan menceritakan detail obrolan saya dengan psikolog karena itu akan menabrak kode etik psikologi dan mengumbar self problem bisa dianggap “curcol gak mutu” oleh para netizen. Intinya, di akhir sesi sang psikolog pemilik izin praktik itu menyatakan saya mengalami gejala depresi ringan dan menyarankan untuk lebih sering meluangkan waktu buat me-time dan quality time dengan keluarga. Me-time kemudian saya artikan sebagai muhasabah, dan quality time dengan keluarga saya artikan sebagai nafkah batin.
Malam sesudah siangnya saya divonis depresi ringan, jujur saya tidak bisa tidur. Tentu saja bukan karena efek dari gejala depresi yang saya idap tapi karena saya memikirkan kenapa saya bisa depresi. Bahasa sederhananya: “saya depresi karena dianggap depresi”. Pertanyaan besar menggelayut di fikiran saya. Kenapa saya seorang ustadz bisa mengalami depresi.
Mohon izin sebelumnya. Saya tidak bermaksud jumawa. Tapi saya adalah seseorang yang menempuh pendidikan di pesantren sejak saya lahir hingga saya menikah. Dan saya menikah dengan putri seorang pengasuh pesantren sehingga otomatis saya berada lagi-lagi di pesantren. Dan saya tak memiliki opsi profesi yang banyak selain menjadi seorang ustadz.
Dalam pikir saya, bagaimana mungkin saya bisa mengalami gangguan kejiwaan padahal saya sudah khatam baca buku Psikologi Agama Jalaluddin Rahmat yang menyebutkan bahwasanya kesehatan mental merupakan kondisi batin yang senantiasa berada dalam keadaan tenang, aman dan tentram, dan upaya untuk menemukan ketenangan batin dapat dilakukan antara lain melalui penyesuaian diri secara regresi (penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan).
Saya, tentu sudah pernah mengaji kitab Ihya Ulumuddin Imam al-Ghazali yang menyebutkan bahwa dari sekian banyak nafsu, mukmin sejati hendaknya memiliki nafsu muthmainnah yang lebih dominan. Saya juga tentu saja sering mengulang-ulang ayat QS al-Fajr: 27-28 tentang apa itu nafsu muthmainnah. Bahkan saya juga sering menyitir QS al-Radd: 28 dan mengingatkan jamaah tentang pentingnya berdzikir karena hanya dengan itu hati bisa tentram.
Lantas bagaimana mungkin saya bisa mengalami gangguan mental? Jawabnya adalah mungkin. Sama mungkinnya dengan Bill Gates jatuh miskin. Meskipun kemungkinannya adalah satu banding sejuta milyar, tapi ya tetap saja mungkin.
Masalah kesehatan mental nyatanya bisa dialami oleh siapa saja, terutama di masa modern seperti sekarang ini, ketika apapun bisa dilihat. Ustadz seperti saya misalnya bisa melihat lulusan kampus pertanian tiba-tiba fasih berbicara tentang khilafah islamiyah dan viral disukai banyak orang padahal –hey, bro-, notabenenya itu adalah wilayah akademik saya. Koq bukan saya yang viral?. Btw, ini sekadar contoh ya gaes, bukan berarti rasa iri dengki semacam itu yang saya alami.
Orang yang dikarunia gigi putih bersih tiba-tiba merasa insecure hanya karena melihat orang lain yang giginya jauh lebih putih dan lebih rapi. Tidak memiliki bakat terpendam tiba-tiba membuat seseorang merasa frustasi karena berakibat dia tidak bisa ikut salah satu challenge di media sosial dimana orang-orang membagikan bakat terpendam mereka seperti bisa menggoyangkan telinga, menekuk jari telunjuk hingga menekuk telapak luar atau apapun itu.
Pastinya, ada banyak di luar sana yang bisa menjadi penyebab kita bermasalah secara mental apapun itu jenisnya. Bersyukurnya saya yang mengetahui ini lebih dini sehingga setidaknya saya bisa cari cara untuk menanggulanginya. Pada akhirnya saya merasa perlu mengevaluasi ibadah-ibadah yang sudah saya lakukan. Jangan-jangan selama ini ibadah saya hanya sebatas permukaan dan tidak sampai hati. Kira-kira itu salah satu positif yang bisa aku ambil.
Akhirnya, buat siapapun. Please, waspadalah dengan masalah kesehatan mental kalian. Psssst… ini bukan iklan psikolog atau psikiater whoi… dan siapapun kita, its ok koq kalau kita ternyata punya masalah mental sehingga kemudian kita bisa melakukan beberapa tindakan yang dianggap perlu untuk menyehatkan kembali mental kita. (AN)