Pada suatu waktu di bulan Ramadan, Sayyidina Umar bin Khattab tak tahan untuk tidak mencium istrinya. Sesaat Umar ingat bahwa ini bulan Ramadan, maka hebohlah Umar dan bergegas menemui Nabi SAW dan melaporkan kepada Nabi, “Hari ini aku melakukan suatu kesalahan besar, aku telah mencium istriku padahal sedang berpuasa”.
Rasulullah kalem menanggapi Umar, beliau SAW balik bertanya, “Bagaimana pendapatmu jika kamu berpuasa kemudian berkumur-kumur?” Umar menjawab, “Seperti itu tidak mengapa.” Kemudian Rasulullah bersabda, “Lalu apa masalahnya?” (HR Ahmad)
Saya terpesona membaca riwayat ini. Rasulullah menjawab dengan sekaligus mengajarkan logika. Mencium dianalogikan dengan kumur-kumur. Artinya, tidak sampai meminum air kan? Mencium tidak sama dengan menggauli isteri. Nabi bisa saja menjawab dengan mengatakan, “tidak apa-apa” secara tegas. Tapi tidak! Kakek Hasan dan Husain ini memilih memberi jawaban dengan logika.
Kelak Mazhab Umar yang sering bertumpu pada ra’yu mempengaruhi pandangan para ulama di Kufah (Iraq), termasuk Imam Abu Hanifah. Jadi, menggunakan ra’yu bukanlah sesuatu yang tercela. Bahkan Rasul sendiri yang mengajarkannya.
Kedudukan Umar di sisi Rasul memang istimewa. Dalam riwayat Bukhari-Muslim diceritakan mimpi Rasul sebagai berikut: “Ketika tidur, aku bermimpi bahwasanya aku diberi segelas susu. Setelah itu, aku pun langsung meminum sebagian susu tersebut, hingga aku merasakan kesegaran sampai ke ujung kuku. Kemudian aku berikan sisa susu tersebut kepada Umar bin Khattab” Para sahabat bertanya, “Ya Rasul, apa arti mimpi tersebut?” Rasulullah menjawab, “ilmu”.
Begitulah kedalaman ilmu Umar bin Khattab yang diwarisi dari Rasulullah. Semoga di bulan suci ini ada di antara kita yang mimpi bertemu Rasulullah SAW dan Sayyidina Umar serta minum susu bersama. Jangan lupa, sisakan buat saya juga yah, soalnya saya lagi mimpi “kumur-kumur” nih 🙂
Tabik,
#NadirsyahHosen
Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia-New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School