Emily A.Vogels dkk dalam artikelnya berjudul Americans and Cancel Culture Where Some See Calls for Accountability Others See Censorship Punishment menyatakan persepsi warga Amerika terhadap cancel culture, di antaranya ialah membatalkan siapapun yang tidak mereka setujui, sebagai upaya untuk mengangkat isu-isu seksi, maupun meminta pertanggung jawaban yang dibatalkan.
Senada dengan artikel di atas, mengutip dari CNN Indonesia, Cancel Culture sama dengan boikot, pembatalan/penolakan kepada seorang tokoh atau orang yang berpengaruh karna tak sejalan dengan keinginan masyarakat
Cancel Culture dalam konsep normatifnya memiliki sisi positif yang bagus untuk mengendalikan situasi tegang di media sosial untuk membatalkan/memboikot konten-konten jahiliyyah yang tidak mendidik, memberikan sanksi sosial untuk selebriti maupun politisi, memberikan ruang untuk suara kaum marjinal
Kultur ini telah mengakar dalam budaya netizen Indonesia. Walau terlihat dalam beberapa kesempatan, netizen masih suka menonton drama-drama antar selebriti media sosial (sepertinya hal tersebut suatu culture yang sulit di-cancel) Acap kali kita temukan budaya ‘penolakan’ ini terjadi karna penyimpangan dan pelanggaran berat di lintas sektor dan profesi, sebut saja koruptor, teroris, pelaku kekerasan seksual, transgender, LGBTQ+.
Wajar, sanksi sosial yang diterima merupakan konsekuensi kebebasan berpendapat di platform digital, dan hukuman tersendiri bagi pelaku. Tak tanggung-tanggung, pembatalan oleh netizen ini tidak cuma menyangkut ketokohan seseorang, bahkan keluarga dan bisnis.
Hal ini terlihat dalam kasus George S. Halim, seorang anak dari pemilik toko roti yang menganiaya karyawannya, netizen memberikan cancel culture dengan brutal, bahkan toko rotinya mengalami aksi pemboikotan oleh netizen, mau tak mau ibunya kerap muncul ke permukaan sekadar mewakili permintaan maaf bagi anak, terlanjur kecewa, netizen berharap ia segera dijebloskan ke dalam balik jeruji besi.
Selain karena penyimpangan dan pelanggaran berat, perbedaan pandangan juga menyulut sikap frontal netizen tersebut, bahkan pada pandangan ilmiah sekalipun.
Melalui cancel culture, netizen Indonesia tidak hanya menghancurkan branding seseorang, memengaruhi privasi seseorang, bahkan lebih menyedihkan lagi ketika budaya ini justru diupayakan netizen untuk meruntuhkan argumentasi ilmiah.
Konsep Cancel Culture Merupakan Bagian Adab Menegur Dalam Islam
Berbicara dalam paradigma hukum Islam, pembahasan ini masuk pada tema adab menegur. Al-Qur’an dalam surah al-Nahl ayat 125 menyebutkan, yang artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” Melalui pemahaman ayat ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa netizen harus menegasikan upaya-upaya ‘pembatalan’ di media sosial yang frontal itu.
Masih di Al-Qur’an, kali ini pada surah al-Hujurat ayat 6 yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa berita, maka periksalah dengan teliti (tabayyun), agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” Ayat ini sekaligus menegaskan bahwa di media sosial kita ditekan untuk meningkatkan kemampuan literasi digital dalam membaca informasi tertentu.
Namun ironisnya, netizen –muslim Indonesia- justru membungkus Cancel Culture yang frontal itu dengan keberadaan dalil-dalil agama. Lucu sekali bukan?. Faktor yang memengaruhi kebrutalan ini selain minimnya literasi digital, pengetahuan agama yang terbatas juga menjadi penyebab utama.
Menelisik Kebiasaan Cancel Culture Menggunakan Dalil Agama
Pada konteks yang berbeda, fenomena kali ini harus mengangkat rumusan substansi dan objektif, tanpa harus membicarakan hal-hal yang telah final menurut hukum agama.
Sebut saja, seperti kaum pro-flat earth dengan segala ayat Al-Qur’annya. Sampai hari ini, saya suka mengikuti konten-konten astronomi, berkaitan dengan luar angkasa, galaxy, tata surya dan lain-lain. Menariknya selalu ada komentar-komentar yang mengundang keprihatinan.
“alquran sdh jelas menjelaskan bahwa bumi itu datar dan matahari serta bulan yang bergerak” ucap akun @adriansyahar*** dilanjutkan dengan balasan lain “surah yasin ayat 41 dan 42 kalo g salah, sudah tidak terbantahkan” tambah @adrianriz*****
Komentar di atas saya dapatkan di salah satu postingan yang membahas lengkungan bumi dalam Point of View satelit NASA. Melihat banyaknya komentar serupa yang bertebaran, nuansa yang dibawa melebihi dari sekadar membatalkan/memboikot ketokohan seseorang, agaknya cancel culture ini sudah mulai masuk dalam konteks upaya meruntuhkan argumentasi ilmiah yang dibalut dengan teks-teks al-Qur’an/dalil-dalil agama.
Sekilas, komentar-komentar ini mengandung interpretasi berbahaya, berpotensi membangun asumsi bahwa teks-teks keagamaan bertentangan dengan sains. Lebih dari sekadar hubungan konflik maupun independensi yang dicenayangkan oleh Ian. G. Barbour dalam bukunya Juru Bicara Tuhan: Antara Sains dan Agama.
Pada kasus lain, baru-baru ini selebgram Ragil Mahardika yang memperkenalkan dirinya sebagai seorang gay, mengekspose aktifitas ibadah Umroh di akun Instagram dan Tiktok miliknya. Pada aspek penyimpangan orientasi seksual, saya tentu sepakat untuk tidak sepakat dengannnya. Namun, renungan saya jatuh terhadap aktifitas spiritualnya yang tak luput dari komentar-komentar sadis netizen.
Benar saja, fenomena ini mendapatkan kecaman keras dari netizen Indonesia. Pasalnya, banyak dari mereka meragukan keotentitasan, keabsahan, bahkan kebenaran di balik fenomena ini. Bagaimana bisa seorang ‘gay’ menjalankan aktifitas spiritual sedangkan ia menyadari dosanya begitu besar?
“Manusia laknat kek kau ndk antas masuk mekkah doh h*m* bangsa*” tulis akun @jhoniria****, “kaummu dilaknat oleh Allah duluan, kek mana itu ya” tulis akun lain @jen.***, semakin saya gulir ke kolom terbawah, semakin frontal isi komentarnya.
Netizen berkomentar dengan penuh kutukan dan kecaman keras. Mulai dari nilai spiritual ibadahnya yang tercemar, hingga keimanannya yang tertolak (secara syariat). Cancel Culture tak lagi menjamah ranah kepribadian, namun hingga sisi perjalanan kerohanian seseorang.
Namun, tahukah kalian bahwa fenomena semacam ini telah terjadi sejak berabad-abad silam? Ketika pelaku penuh dosa menyadari begitu besar dosanya tetap menjalankan aktifitas spiritual dan mengakui kehambaannya dihadapan Allah SWT.
Seperti yang saya tegaskan di atas, kita tidak membicarakan hal-hal final menurut agama, seperti pada ketokohan Ragil sendiri dengan orientasi seksualnya yang jelas melanggar hukum tuhan. Mungkin kita telah banyak mendengar cerita perjalanan seorang pendosa menemukan hidayah Tuhannya, tak terkecuali seorang Ragil Mahardika, yang kita harap tentu dapat hidayah dan melaksanakan syariat Islam secara utuh.
Lihat ayat 53 dari surah al-Zumar yang artinya “Katakanlah (Nabi Muhammad), “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas (dengan menzalimi) dirinya sendiri, janganlah berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(Islamic) Cancel Culture: Upaya Menerapkan Adab Menegur Dalam Islam
Cancel Culture nampaknya tak dapat diindahkan sebagai konsekuensi bermedia sosial, walau dapat dilihat bahwa budaya ini sudah mulai menjamah ke ruang-ruang privasi seseorang. Ruang yang seharusnya bukan urusan ketikan netizen.
Lebih banyak dari ayat-ayat di atas menerangkan adab menegur dalam Islam. Apalah arti sebuah teks keagamaan tanpa manifestasi tindakan-tindakan realistik yaitu dengan menumbuhkan budaya komentar positif di antara kita.
Salah satu upaya pertama untuk membatasi kefrontalan ini ialah dengan menebar edukasi-edukasi literasi digital serta wawasan keagamaan. Memang tidak mudah, karena menumbuhkan kesadaran harus dimulai dari kepribadian seseorang, pendidikan, serta faktor lingkungan.
Sekilas teringat dengan nasihat guru saya dulu “Islam agama rahmatan lil ‘alamin, bahkan bagi Iblis sekalipun”. Ah, nampaknya wajah keislaman kita sekarang ini dan seterusnya semakin ditantang dengan arus globalisasi teknologi.