Paras Nabi Muhammad hari itu sungguh menunjukkan kegembiraan yang sangat. Ia sedang tersenyum bahagia menatap seorang bayi yang sedang dibopongnya. “Ya Humairah!” panggilnya kepada sang istri tercinta, Aisyah. “Kemarilah,” katanya.
Tak berapa lama Aisyah muncul di ambang pintu kamar. “Ada apa ya Rasulullah?” tanyanya lembut. “Tidakkah kau lihat persamaan Ibrahim denganku?” kata Nabi sambil menunjukkan sang jabang bayi. Sejenak Aisyah menatap bayi itu. “Aku tak melihat adanya persamaan itu,” timpal Aisyah dengan nada agak kurang senang.
Aisyah sepertinya cemburu dengan sang bayi yang lahir dari rahim Maria Al-Qibtiyah. Sebaliknya, Nabi begitu bersuka cita.
Untuk mengungkapkan kebahagiannya pada saat Ibrahim lahir Nabi memberikan sedekah uang dengan ukuran setiap helai rambut Ibrahim. Untuk menyusuinya Nabi menyerahkan kepada seorang kepercayaannya bernama Ummu Saif. Dan tidak cukup dari itu Nabi juga menyertakan tujuh ekor kambing untuk dimanfaatkan air susunya khusus bagi sang putra tercinta.
Melihat ini kecemburuan menjalar ke semua istri, tak hanya Aisyah, tapi juga istri lainnya. Mereka cemburu berat.
Kecemburuan para istri ini mungkin disebabkan karena mereka tak jua dikaruniai anak atau juga karena status Maria, ibunda Ibrahim. Maria adalah perempuan pemberian raja Mesir: Muqauqis, karena itu ia berstatus sebagai hamba sahaya, sesuatu yang masih menjadi tradisi waktu itu yang oleh Nabi sedikit demi sedikit dikikis.
Pernah terjadi ketika pada suatu hari Hafsha pergi mengunjungi ayahnya, Umar bin Khattab, dan bercakap-cakap di sana, tak disangka ternyata Maria datang kepada Nabi pada saat itu juga. Sewaktu Hafsha kembali pulang ia terkejut melihat Maria sudah ada di dalam rumah. Akhirnya ia menunggu keluarnya Maria dengan rasa cemburu yang sudah meluap. Makin lama ia menunggu, cemburunya pun makin menjadi. Bilamana kemudian Maria keluar, Hafsha masuk menjumpai Nabi.
“Saya sudah melihat siapa yang dengan Engkau tadi,” kata Hafshah. “Engkau sungguh telah menghinaku. Engkau tidak akan berbuat begitu kalau tidak kedudukanku yang rendah dalam pandanganmu.”
Di sisi lain, sebenarnya sebelum kelahiran Ibrahim di kalangan para istri juga telah terjadi pertentangan. Nabi dianggap lebih mencintai satu istri dibanding yang lain. Waktu itu Nabi masih mampu mendamaikan.
Ketika Ibrahim lahir pertentangan itu semakin menjadi-jadi. Akhirnya Nabi membuat keputusan tegas. Nabi memisahkan diri dari mereka. Nabi pisah ranjang sebulan penuh. Tiada seorangpun sahabat yang diajak Nabi bicara mengenai mereka, juga tak orang pun yang berani memulai membicarakan masalah mereka itu.
Sebulan penuh nabi menghabiskan sebagian waktunya dalam sebuah bilik kecil. Dan selama itu hanya ditemani pelayannya, Rabah. Jalan masuk ke tempat itu melalui tangga dari batang kurma yang kasar sekali.
Suatu hari para sahabat sedang berkumpul di masjid. Timbul desas desus bahwa Nabi telah menceraikan para istri. Mendengar ini semua nampak sedih, gelisah melihat nasib Ummul-Mukminin, juga mengkhawatirkan akibat kemarahan Rasulullah. Jangan-jangan Allah nanti juga turut murka.
Umar yang berada di tengah-tengah kerumunan tiba-tiba berdiri. Ia memutuskan untuk pergi ke tempat Nabi. Dipanggilnya Rabah supaya dimintakan ijin menemui Rasulullah. Umar menatap penuh harap tapi Rabah tak berkata apa-apa. Itu artinya Nabi belum mengijinkan.
Sekali ini Umar berkata lagi dengan suara lebih keras. “Rabah, mintakan aku ijin kepada Rasulullah. Kukira dia sudah menduga kedatanganku ini ada hubungannya dengan Hafshah. Sungguh, kalau dia menyuruh aku memenggal leher Hafshah, akan kupenggal.”
Sekali ini Nabi memberi ijin dan Umar pun masuk. Ia langsung duduk dan memandang ke sekeliling tempat itu. Umar menangis. Pasalnya, ada galur-galur tikar yang membekas dalam di punggung Nabi dan hanya sedikit gandum dan kacang-kacangan di bilik itu. Nabi nampak begitu sengsara.
Melihat tingkah Umar itu Nabi hanya mengatakan perlunya meninggalkan kemegahan duniawi.
“Rasulullah, apa yang menyebabkan tuan tersinggung karena para isteri itu. Kalau mereka itu tuan ceraikan, niscaya Tuhan di sampingmu, demikian juga para malaikat, juga saya, Abu Bakr, dan semua orang-orang beriman berada di pihakmu,” kata Umar mengutarakan maksud kedatangannya.
Umar terus saja bicara sehingga bayangan kemarahan berangsur hilang dari wajah Nabi dan ia pun tertawa. Setelah Umar melihat hal ini lalu diceritakannya keadaan kaum muslimin di masjid serta apa yang mereka katakan, bahwa Nabi telah menceraikan isteri-isterinya.
Nabi menjawab, “Aku tidak menceraikan mereka.” Hal ini karena Allah sendiri telah menegurnya. “Wahai Nabi! Mengapa engkau mengharamkan sesuatu yang oleh Tuhan dihalalkan untukmu…”
Mendengar jawaban ini Umar minta ijin akan mengumumkan hal ini kepada orang-orang yang sekarang masih tinggal di mesjid menunggu. Ia pergi ke mesjid, dan dengan suara keras Umar berkata kepada mereka, “Rasulullah tidak menceraikan isterinya.”
Kabar itu disambut gemuruh para sahabat. Dan sejak saat itu kehidupan rumahtangga Nabi kembali tenang. Ternyata pisah ranjang menjadi obat mujarab pertentangan rumah tangga Rasulullah, bukan dengan kekerasan atau perceraian.
Cerita ini sebelumnya pernah dimuat di Majalah Syir’ah edisi 56