Mushaf Ustmani sering mendapatkan kritik dari para orientalis dan beberapa kritikus, seperti Noldek, Robert Morey, dan Ibn Warraq. Mereka berpendapat bahwa terdapat ayat-ayat yang hilang, tidak lengkap dan dikorupsi oleh tim formatur kodifikasi Ustman.
Morey berpendapat bahwa surat al-Ahzab pada zaman Aisyah berjumlah dua ratus ayat, namun setelah tim formatur melakukan kodifikasi surah al-Ahzab menjadi 73 ayat. Sedangkan Ibn Warraq menyebutkan bahwa riwayat percakapan Zirr bin Khubais dan Ubay bin Ka’ab yang menyebutkan bahwa jumlah ayat al-Ahzab sebanding dengan Al-Baqarah.
Namun percakapan Zirr dan Ubay tersebut tampak ambivalen jika dihadapkan dengan riwayat bacaan Ashim yang bersumber dari Zirr dan Ka’ab, yang sama dengan Mushaf Utsmani.
Subhi Al-Shalih mencatat setidaknya terdapat lima hal yang menurutnya penting berdasarkan riwayat hadis shahih terkait Mushaf Ustmani ini. Lima hal tersebut adalah:
Pertama, perbedaan cara membaca Al-Quran itulah yang sesungguhnya menjadi pendorong utama bagi Utsman untuk memerintahkan penyalinan Mushaf Hafshah menjadi beberapa naskah. Karena itu tidak ada alasan bagi Blachere dan kaum orientalis lainnya untuk meragukan niat Ustman dalam memerintahkan penyalinan Mushaf. Menurut Subhi Al-Shalih orientalis tidak menunjukkan riwayat atau fakta yang sebanding dengan riwayat Imam Bukhari, seorang ahli hadis yang kepercayaan, cermat, dan kejujurannya sudah teruji.
Kedua, komisi yang bertugas menyalin Mushaf terdiri dari empat orang. Menurutnya, jika Zaid bin Tsabit disisihkan maka ketiga orang lainnya adalah berasal dari Quraisy, Mekah. Tiga orang itu adalah Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Al-Ash, dan Abdurrahman bin Al-Harits. Empat orang itu, semuanya adalah para sahabat Nabi Saw yang terkemuka dan terpercaya.
Ketiga, komisi empat orang tersebut menggunakan Mushaf Hafshah sebagai dasar salinan, yang pada hakikatnya bersandar pada Mushaf hasil kodifikasi atas perintah Khalifah Abu Bakar.
Keempat, Al-Quran diturunkan dalam bahasa Arab dialek Quraisy, dialek yang diutamakan bagi penulisan nash Al-Quran bila timbul perbedaan antara tiga orang Quraisy. Hal itu tidak menyalahi penulisan Mushaf degan cara menyatukan tujuh huruf yang mewarnai turunnya Al-Quran, sebab, pada masa itu penulisannya tanpa titik-titik dan tanpa syakl. Selain itu, cara orang membaca Al-Quran juga tidak sama, tergantung cara pencatatan Al-Quran masing-masing.
Kelima, Khalifah Ustman mengirimkan salinan Mushaf hasil kerja komisi empat tersebut ke daerah-daerah. Selain itu, Sang Khalifah juga meniadakan perbedaan dan pertengkaran mengenai cara membaca Al-Quran.
Tampaknya bukan Hudzaifah Al-Yaman saja yang memendam rasa khawatir akan timbulnya perselisihan. Al-Thabari menyampaikan sebuah riwayat yang dikeluarkan oleh Ayyub bahwa pada masa Khalifah Ustman, setiap guru mengetahui cara qira’at tertentu dan cara itulah yang diajarkan kepada muridnya.
Pada saat murid dari berbagai daerah berkumpul, terjadilah perselisihan dan pertengkaran. Mereka lalu melaporkan peristiwa pertengkaran itu kepada gurunya masing-masing sehingga terjadilah saling mengkafirkan karena soal bacaan Al-Quran. Hal itu kemudian didengar oleh Utsman.
Dalam kesempatan berkhutbah, Ustman mengatakan kalian berselisih dan bertengkar mengenai cara membaca Al-Quran yang semestinya, padahal aku berada di antara kalian. Bagaimana penduduk daerah-daerah yang lebih jauh lagi, tentu mereka bertengkar lebih hebat lagi dan lebih banyak peyimpangan dalam membaca Al-Quran, cepatlah kalian berkumpul, kemudian tulislah Al-Quran bagi seluruh kaum muslimin.
Senada dengan As-Salih, Manna Khalil Al-Qattan mencatat setidaknya ada tiga hal yang diragukan terhadap Mushaf Ustmani. Tiga hal itu adalah:
Pertama, mereka mengatakan bahwa sumber-sumber lama menunjukkan adanya beberapa bagian Al-Quran yang tidak dituliskan dalam Mushaf Utsmani. Namun sekurang-kurangnya, pendapat tersebut bertentangan dengan semua ayat yang telah Nabi SAW hafal, ayat-ayat tersebut juga telah ditulis, serta dihafal para sahabat dengan tingkat mutawatir.
Kedua, mereka mengatakan bahwa dalam Al-Quran terdapat sesuatu yang bukan Al-Quran. Umumnya pendapat ini merujuk kepada riwayat yang mengatakan bahwa Ibnu Mas’ud mengingkari surah an-Nas dan al-Falaq. An-Nawawi mengatakan bahwa kaum muslimin sepakat surah al-Naas dan al-Falaq dan surah Al-Fatihah termasuk Al-Quran. Ibn Hazm berpendapat bahwa riwayat yang mengatakan bahwa Ibnu Mas’ud tidak mengakui kedua surah tersebut merupakan pendustaan dan pemalsuan atas nama Ibnu Mas’ud.
Ketiga, segolongan Syi’ah ekstrim menuduh bahwa Abu Bakar, Umar, dan Utsman telah mengubah Al-Quran serta menggugugurkan beberapa ayat dan surat seperti Q.S. An-Nahl ayat 92. Terhadap pendapat ini, sebagian ulama Syi’ah sendiri cuci tangan dari tuduhan ini.
Ini membuktikan bahwa kritik dan kontroversi Mushaf Utsmani tidak dapat dibuktikan dan bertentangan dengan fakta.
Wallahu A’lam.