
Menjelang tidur saya buka-buka youtube, muncul di halaman depan inews memuat berita ABRI pada 1998. Konten peristiwa yang memantik imajinasi berjudul Capres dan Cawapres Pilihan ABRI. Dari situ membawa saya pada bacaan lama tentang militer dan demokrasi.
Dalam rekaman itu, menggambarkan intervensi tentara dalam ranah politik sipil, seperti tercermin dalam kasus pengusungan Soeharto dan BJ Habibie oleh Fraksi ABRI pada 1998, contoh gamblang pelanggaran prinsip demokrasi yang mestinya menjunjung netralitas institusi militer.
Tampak dalam video ini, militer punya pandangan dan sikap politik atas nama kepentingan nasional.
Dalam sistem demokrasi yang sehat, tentara seharusnya jaga kedaulatan negara tanpa memihak kepentingan politik praktis. Namun, doktrin “Dwi/Multifungsi ABRI” (konsep dual-function/multi-function military) yang diadopsi sejak Orde Baru memberikan legitimasi struktural bagi militer menguasai sektor sipil, termasuk politik, ekonomi, dan birokrasi.
Hal ini mempertegas sistem otoritarian, mengaburkan batas kewenangan sipil-militer, sebagaimana dijelaskan Harold Crouch dalam “The Army and Politics in Indonesia” (1978).
Praktik ini selain mengancam dan merapuhkan checks and balances demokrasi, sekaligus memfasilitasi represi terhadap suara rakyat.
Buktinya apa? Terlihat pada 1998, meski ABRI mengamankan status quo kekuasaan dengan mengusung Soeharto, legitimasi politiknya langsung runtuh akibat gerakan reformasi yang dipimpin mahasiswa dan masyarakat sipil.
Ini bukti, cawe-cawe militer dalam politik justru mempercepat krisis legitimasi penguasa, seperti disebut dalam laporan International Crisis Group (1999) tentang transisi Indonesia pasca-Soeharto.
Lebih lanjut, bisa kita bayangkan, kantor koramil atau batalyon boleh jadi akan berfungsi sebagai kantor konsolidasi politik menggambarkan bagaimana infrastruktur militer kerap disalahgunakan mengkonsolidir kekuatan kekuasaan, bukan melindungi rakyat.
Dalam konteks ini, militer bertindak sebagai alat represi guna mempertahankan rezim, seperti diungkapkan Riswandha Imawan dalam “Militer dan Politik di Indonesia” (2000). Padahal, konstitusi (UUD 1945 Pasal 30) tegas membatasi tugas tentara pada pertahanan, bukan intervensi politik.
Bila mana saat ini mengaktifkan kembali militer ke ranah sipil, dampak politisasi militer adalah terkikisnya kepercayaan publik terhadap institusi negara. Rakyat jadi “warga kelas empat” karena ada previlege kelompok khusus yang direstui penguasa, yakni: pertama tentara, kedua polisi, ketiga partai koalisi penguasa dan keempat warga sipil.
Sebagai warga kelas empat, suara sipil akan dikesampingkan oleh oligarki militer yang berkolaborasi dengan parcok dan partai penguasa.
Namun ingatlah, jatuhnya Soeharto pada 1998 juga menunjukkan, hegemoni militer tidak abadi, kekuatan sipil mampu jadi counter-power ketika terjadi kesadaran kolektif menolak otoritarianisme.
Netralitas militer adalah prinsip dasar demokrasi.
Pelajaran 1998 harus jadi pengingat, intervensi militer dalam politik hanya melanggengkan ketidakadilan dan mencederai kedaulatan rakyat. Kita tentu tidak mau melihat markas TNI jadi kantor Parpol. Stigma Kepolisian disebut Parcok, ditambah serbuan lagu bayar bayar polisi makin menggerogoti legitimasinya sebagai pengayom masyarakat.
Periode Presiden Gus Dur mencabut dwifungsi ABRI merupakan tonggak penting mereformasi demokrasi Indonesia. Melalui penghapusan peran sosial-politik militer, khususnya memisahkan TNI dan Polri pada tahun 2000, Gus Dur mengembalikan militer ke fungsi pertahanan negara dan mendorong supremasi sipil.
Keputusan ini mengakhiri dominasi militer dalam politik dan birokrasi, yang selama Orde Baru diperalat penguasa. Keberanian Gus Dur memperkuat demokratisasi, membuka ruang pemerintahan sipil lebih independen, serta menandai transisi otoritarianisme ke sistem yang lebih demokratis. Sejak 1959 Menteri Pertahanan dijabat kalangan militer, tapi saat itulah Menhan dijabat sipil yakni Mahfud MD.
Reformasi ABRI ke TNI pasca-1998, termasuk pencabutan dwifungsi ABRI melalui Undang-Undang TNI No. 34/2004, perlu dipertahankan agar militer fokus pada fungsi pertahanan, bukan jadi alat kekuasaan.
Kita harus terus kritis terhadap upaya politisasi militer yang berpotensi mengulang sejarah kelam otoritarianisme.