Fenomena saling kafir-mengafirkan tidak hanya terjadi saat ini. Di masa dakwah sebelum kemerdekaan Indonesia, ulama kondang KH Ahmad Dahlan juga pernah dikafirkan hanya karena mendirikan sekolah yang ada papan tulis, meja, dan kursinya.
Pengafiran KH Ahmad Dahlan agaknya terdengar lucu. Bagaimanapun juga, saat ini nyaris semua sekolah dan institusi pendidikan menyediakan kursi, meja, papan tulis, bahkan juga layar proyektor di ruang kelas. Namun, di masa itu, sekolah-sekolah yang menggunakan meja dan kursi hanyalah sekolah kolonial penjajah Belanda.
Sementara itu, pengajaran Islam dan pesantren-pesantren umumnya duduk lesehan dan tidak menggunakan kursi dan meja.
Karena itulah, ulama-ulama Islam yang kolot bersama para pengikutnya ramai-ramai menuduh KH Ahmad Dahlan kafir. Dasarnya adalah hadis yang diriwayatkan Abdullah bin Umar bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk darinya,” (H.R. Abu Daud).
Dalam buku biografi K.H. Ahmad Dahlan (2015) yang dieditori oleh Djoko Marihandono, disebutkan bahwa kiai-kiai pesantren pada tahun 1920-an sangat membenci kolonial Belanda, termasuk sistem pendidikannya.
Salah satu sebabnya adalah tidak adanya pengajaran agama di sekolah yang didirikan kolonial Belanda. Tujuan pendidikan yang diusung Belanda hanya untuk mendukung pemerintahan kolonial, khususnya di bidang ekonomi. Pengaturan pendidikannya pun disusun berdasarkan strata sosial, yang nantinya mencetak orang-orang yang mendukung kepentingan politik penjajah.
Akibatnya, pengajaran agama dipandang sebelah mata. Pendidikan pesantren dianggap sebagai sekolah kelas dua. Hal inilah yang memicu sikap antipati para kiai dan orang-orang pesantren terhadap segala hal berbau kolonial, termasuk juga kursi, meja, dan papan tulis yang digunakan sekolah-sekolah Belanda tersebut.
Bagi mereka, segala bentuk peniruan, adopsi sarana dan prasarana pendidikan Belanda termasuk sikap “menyerupai kaum [kafir]”, sebagaimana diisyaratkan hadis di atas. Dalam hal ini, KH Ahmad Dahlan dianggap sudah menyerupai “penjajah kafir” sehingga ia pun tidak lepas dari tuduhan kafir dan sesat.
Tidak hanya itu, KH Ahmad Dahlan juga menggabungkan pengajaran Islam dengan ilmu-ilmu umum. Gerakan pendidikan yang ia dirikan banyak ditentang oleh kaum muslim tradisional.
Akibatnya, pendidikan yang digagas KH Ahmad Dahlan tidak hanya dihalang-halangi oleh pemerintah kolonial Belanda, melainkan juga umat Islam konservatif di masa itu.
Saking tajamnya tuduhan kafir dan sesat yang dilayangkan kepada beliau, beberapa waktu selepas KH Ahmad Dahlan berkunjung ke Banyuangi, ia menerima surat ancaman di depan rumahnya yang berbunyi:
“Hai ulama palsu yang busuk! Datanglah kemari sekali lagi, kalau memang benar ajakanmu itu. Kami akan menyambut kedatanganmu dengan belati tajam dan golok besar, biar engkau pulang menjadi bangkai. Bawalah istrimu sekali supaya dapat kami selesaikan pula.”
Menjawab ancaman itu, KH Ahmad Dahlan malahan kembali berkunjung ke Banyuwangi, serta beceramah di beberapa masjid di sana. Beliau juga membawa anak dan istrinya, namun tak ada yang berani mengganggunya terang-terangan.
Bukan hanya karena sekolah bermeja dan kursi, KH Ahmad Dahlan juga dituduh kafir karena mengenakan jas Belanda yang berjulukan Sinyo Londo. Penampilannya dianggap aneh karena KH Ahmad Dahlan memadukan sorban, jas, jarik, dan bersandal Jawa.
Karena penampilan dan pembawaan beliau, KH Ahmad Dahlan memperoleh berbagai label negatif, seperti Kiai Kafir, Kiai Kristen, hingga Ulama Busuk, seperti surat ancaman di atas.
Padahal, sikap mengafir-kafirkan orang adalah tindakan yang sensitif dan berbahaya. Sebagian kelompok kaku yang mengafirkan KH Ahmad Dahlan nyatanya tak terdengar gaungnya saat ini.
Selain itu, orang yang mengafirkan orang lain, lalu pernyataannya salah akan menanggung dosa teramat besar, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:
“Janganlah seseorang menuduh orang lain dengan tuduhan fasik dan jangan pula menuduhnya dengan tuduhan kafir, karena tuduhan itu akan kembali kepada dirinya sendiri jika orang lain tersebut tidak sebagaimana yang dia tuduhkan,” (H.R. Bukhari).
Hadis meniru-niru suatu kaum, lalu dianggap tergolong kaum tersebut berkaitan dengan perilaku ibadah dan syariat keagamaan. Umat Islam tidak boleh menyerupai ibadah suatu kaum atau agama lain, terutama jika membahayakan akidah dan syariat Islam.
Karena itulah, KH Ahmad Dahlan menyatakan bahwa mengadaptasi budaya non-muslim diperbolehkan, asalkan tidak mendistorsi syariat Islam, tidak merusak akidah, keyakinan dan akhlak kaum muslimin.