Dalam surat bertanggal 06 Nopember 1899 untuk Nona E.H. Zeehandelaar, setidaknya ada dua hal yang berhubungan dengan ajaran Islam yang disinggung R.A Kartini. Kebolehan poligami dalam Islam dan ketidakberkenan-nya menjelaskan lebih jauh tentang agamanya, karena ia merasa tidak terlalu mengenal Islam.
Surat tersebut merupakan jawaban untuk Nona Zeehandelaar yang menanggapi surat dan ajakan untuk berteman yang ia kirim sebelumnya. Surat ini dimuat dalam buku kumpulan surat Kartini, Door Duiternis Tot Licht atau Habis Gelap Terbitlah Terang yang fenomenal. Dari surat-suratnya inilah Kartini dikenal sebagai perempuan muda cerdas dari Hindia Belanda yang punya mimpi indah untuk masyarakat dan negerinya –juga agamanya- dan nantinya dikenang sebagai pahlawan nasional.
Saat menulis surat ini, Kartini masih berumur 20 tahun. Terlalu dini untuk menyimpulkan bagaimana pandangan Kartini tentang Islam secara keseluruhan dari apa yang ditulisnya dalam surat tersebut. Apalagi di kemudian hari, pandangan Kartini tentang Islam banyak berubah setelah bertemu Kiai Sholeh Darat Semarang, kiai kharismatik yang menjadi guru dua Ulama’ besar Indonesia pada abad 20, KH. Ahmad Dahlan dan Hadhrotussyaikh Hasyim Asy’ary. Tapi kritik pada masyarakat Islam yang dibahas dalam surat tersebut sangat menarik untuk direnungkan.
Alasan Kartini enggan berbicara lebih jauh tentang Islam dalam menjawab permintaan Nona Zeehandelaar yaitu karena, menurutnya, Islam melarang pemeluknya untuk berdiskusi dengan pemeluk agama lain dan ia juga merasa tidak terlalu “mengenal” Al-Quran sebagai kitab suci Islam. Kartini merasa bahwa ia beragama Islam karena nenek moyangnya. Pengakuanya yang merasa tidak terlalu mengenal Al-Quran ini menarik untuk didiskusikan. Meskipun sekali lagi, ini adalah pemikiran Kartini di usia 20 tahun.
Kartini mempertanyakan, bagaimana bisa ia dapat mencintai Islam, bila ia tidak diperbolehkan mengenal Islam. Ketidakbolehan yang dimaksud Kartini adalah tidak diterjemahkannya Al-Quran dalam bahasa lain, sementara ia tidak memahami Bahasa Arab. Kartini menganggap praktek pengajaran Islam di Jawa yang mengajari pemeluknya membaca Al-Quran, tetapi tidak diajarkan memahami Al-Quran, merupakan pekerjaan gila. Kritiknya pada praktek keagamaan di Jawa tersebut semakin menarik bila dikaitkan dengan surat pertamanya.
Dalam surat pertamanya untuk Nona Zeehandelaar, ia menyebut orang Bumiputera kebanyakan muslim, tapi tidak saleh, karena mereka muslim keturunan dari nenek moyangnya. “Namun, dalam kenyataanya mereka tidak lebih dan tidak kurang dari seorang kafir,” tulis Kartini.
Kegelisahannya soal tak adanya terjemahan Al-Quran, pada kemudian hari dijawab oleh Kiai Sholeh Darat yang menulis terjemah Al-Quran dalam bahasa Jawa berjudul Faidlur Rahman fi Tarjamah Tafsir Kalam al-Malik al-Dayyan atas permintaan Kartini. Tidak adanya penerjemahan Al-Quran waktu itu karena ada larangan dari pemerintah kolonial untuk menerjemahkan kitab suci.
Untuk mengelabui pemerintah, Kiai Sholeh Darat memakai aksara Arab Pegon, agar tidak dicurigai pemerintah. Kitab tersebut menjadi kitab tafsir pertama dalam bahasa Jawa. Kartini yang punya jejak sejarah atas kitab tafsir Al-Quran itu, layak dikenang oleh Umat Islam, khususnya Muslim Jawa. Bahwa terjemahan Al-Quran pertama dalam bahasa Jawa bermula dari kegelisahan seorang gadis.
Pada perkembangan selanjutnya, penerjemahan Al-Quran dan tafsirnya dalam bahasa nasional dan daerah semakin menggembirakan. Banyak kitab tafsir Al-Quran yang ditulis ulama’ Indonesia. Dalam bahasa Jawa ada kitab-kitab seperti Al-Ibriz karya KH. Bisri Mushtofa, Tafsir Al-Quran Suci Bahasa Kawi karya KH. Muhammad Adnan, serta Al-Iklil Fi Ma’anit Tanzil dan Taj Al-Muslimin karya KH. Misbah Mustofa.
Dalam bahasa melayu ada Al-Burhan Tafsir Juz Amma karya KH. Abdul Karim Amrullah, Tamsyiah Al-Muslimin karya KH. Ahmad Sanusi, dan Tafsir Al-Quran Al-Karim karya Prof. Dr. Mahmud Yunus. Dalam bahasa Indonesia ada Al-Azhar karya Buya Hamka, Al-Misbah karya Prof. Dr. Quraish Shihab, dan sebagainya.
Namun permasalahanya belum selesai sampai di sini. Penerjemahan Al-Quran hanyalah salah satu solusi untuk permasalahan tidak sesuainya muslim Indonesia dengan ajaran Islam yang dikritik Kartini. Pemahaman dan kedekatan muslim Indonesia pada Al-Quran masih menjadi PR besar bagi pemangku kebijakan pendidikan keislaman. Pembelajaran tafsir Al-Quran selama ini hanya dinikmati kalangan elit muslim tertentu saja, yakni kalangan santri, mahasiswa kampus Islam dan orang-orang dewasa yang mengikuti majelis taklim atau kajian Al-Qur’an yang diadakan di Masjid-Masjid atau lewat platform online.
Pengajian tafsir tersebut biasanya berpegang pada salah satu kitab tafsir yang dikaji urut dari juz pertama dalam waktu berkala. Untuk mengkhatamkanya tentu membutuhkan waktu bertahun-tahun. Pengajian dengan model begini menurut saya masih harus diteruskan untuk kalangan santri dan mahasiswa yang nantinya akan menjadi pengajar Islam untuk masyarakat, karena bagaimanapun, syarat mempelajari Al-Quran adalah belajar sampai khatam dan membutuhkan penguasaan pada banyak disiplin ilmu yang lain, dan itu harus ditempuh dalam waktu yang lama. Biarkanlah tugas berat ini ditanggung para Santri dan Mahasiswa sebagai calon Kiai dan Intelektual Islam.
Namun, selanjutnya jangan mengabaikan masyarakat awam yang juga berhak mendapat pembelajaran dari Al-Quran sebagai kitab sucinya. Tentu caranya tidak bisa disamakan dengan kalangan santri dan mahasiswa. Masyarakat awam harus dikenalkan dengan kitab sucinya sejak kecil dan melalui penjelasan yang mudah dipahami. Sebagaimana yang dikatakan Kartini, sampai sekarang, fokus pendidikan Islam untuk kalangan umum adalah kemampuan membaca Al-Quran, yang diselenggarakan di TPQ-TPQ (Taman Pendidikan Al-Quran) atau surau-surau. Alangkah baiknya setelah dapat membaca Al-Quran dengan baik, para anak-anak selanjutnya melanjutkan untuk belajar memahami Al-Quran.
Bentuk pembelajaran tafsir Al-Quran yang menurut saya cocok untuk kalangan umum, entah itu kalangan anak-anak maupun dewasa, adalah pengkajian Al-Quran secara tematik atau metode maudhu’i, bukan dengan model urut perayat atau metode tahlili, seperti yang diselenggarakan di Pesantren.
Prof. Dr. Quraish Shihab dalam bukunya Wawasan Al-Quran, mengilustrasikan metode tahlili seperti penyajian hidangan prasmanan, sementara metode maudhu’i seperti penyajian kotak makanan. “Apabila Anda sibuk dan ingin cepat, maka tentu saja Anda mengambil kotak berisi makanan yang telah tersedia. Sebaliknya, apabila Anda santai dan ingin lebih puas maka pilihlah prasmanan.” Begitu tulis Quraish Shihab.
Untuk kalangan Pesantren dan Perguruan Tinggi Keislaman, karena mempunyai waktu yang lama dan membutuhkan pemahaman Al-Quran dan Keislaman yang utuh, tentu lebih baik menggunakan metode tahlili. Sementara untuk kalangan umum, karena mempunyai urusan lain seperti bekerja dan bersekolah, lebih baik menggunakan metode maudhu’i.
Metode maudhu’i memungkinkan pembelajar mendapatkan pemahaman Al-Quran yang utuh pada topik tertentu dalam satu tema pertemuan. Dengan begitu, kesalahan memahami ayat Al-Quran secara sepotong-potong juga bisa dihindari. Karena dalam memahami satu ayat Al-Quran membutuhkan pemahaman pada konteks asbabun nuzul-nya dan kaitanya dengan ayat lain.
Para ustadz dan pengkaji Al-Quran secara tematik seperti ini pun bisa memilihkan tema yang dibutuhkan oleh para jama’ahnya, yakni tema-tema yang berkaitan langsung dengan problematika keseharian umat. Sehingga para jamaah bisa langsung mengamalkan pemahaman Al-Quran tersebut dan bisa merasakan kehadiran Al-Quran dalam penyelesaian persoalan-persoalan mereka. Dengan begitu, Al-Quran diharapkan benar-benar hadir sebagai pedoman hidup masyarakat dan menjadi kekuatan besar bagi kemaslahatan bangsa Indonesia yang notabene mayoritas penduduknya Muslim.
Saya membayangkan, bila sejak dini anak-anak dikenalkan bahwa Al-Quran sangat menganjurkan ilmu pengetahuan dan pembacaan terhadap fenomena alam, mungkin akan tercipta generasi muslim di Indonesia yang ahli Sains sebagaimana era Ibnu Sina atau Ibnu Rusyd dulu. Atau saat mendengar kisah Nabi Ibrahim menganggap patung-patung kaumnya sebagai alat komunikasi untuk memperkenalkan tauhid, ketika kaumnya menganggapnya sebagai berhala yang disembah, kalangan muslim mungkin akan berlomba menciptakan karya-karya seni yang bernafaskan pesan-pesan Al-Quran dan keislaman.
Dengan “membuminya” Al-Quran pada kalangan umat Islam secara umum, dan tidak hanya dinikmati kalangan elite pelajar muslim tertentu saja, peradaban Islam mungkin sekali lagi akan kembali membangun peradaban dunia.
Kegelisahan Kartini pada masyarakatnya yang mayoritas muslim tapi tidak mencerminkan perilaku Islam ini sama seperti pernyataan Muhammad Abduh yang terkenal, “dzahabtu ilaa bilaad al-ghorbi, roaitu al-Islam wa lam aro al-muslimin. Wa dzahabtu ilaa bilaad al-‘arobi, roaitu al-muslimin, wa lam aro al-Islam”. (aku pergi ke Negara Barat, aku melihat Islam namun tidak melihat Muslim. Dan aku pergi ke Negara Arab, aku melihat Muslim namun tidak melihat Islam.). Dengan adanya upaya mendekatkan Al-Quran pada umat Islam kebanyakan, diharapkan kegelisahan Kartini dan Muhammad Abduh ini akan terjawab dan umat Islam mampu menjadikan Islam sebagai rohmatan lil alamin. (AN)