Hujjatul Islam Imam Al-Gazali. Siapa tak kenal ulama tersohor ini? Kedalaman ilmu ulama bernama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi tersebut tak diragukan lagi, bahkan oleh para pengkritiknya. Karya tulisnya ratusan dan dibaca selama berabad-abad hingga sekarang. Madzhab tasawufnya diikuti. Ilmu kalamnya menjadi benteng. Dan ulasan ushul fiqihnya menjadi rujukan. Imam Al-Ghazali juga serius mendalami filsafat meski akhirnya ilmu ini ia kritik sendiri.
Reputasi Imam Al-Ghazali sebagai ilmuan diakui oleh kawan maupun lawan. Tapi yang mesti diingat, kehebatannya tak datang tiba-tiba. Ulama yang terkenal dengan karya monumental Ihya’ Ulumiddin inimelalui kehidupan berliku sejak kecil. Al-Ghazali hidup dalam keluarga miskin. Ayahnya yang sangat taat beragama adalah seorang pemintal dan melalui perkejaan sederhana ini pula ia menghidupi keluarga. Ia hanya mau menafkahi keluarga dari hasil jerih payahnya sendiri.
Meski diliputi hidup yang serbaterbatas, ayah Al-Ghazali menyimpan impian yang begitu menggebu, yakni kedua anaknya, Imam Al-Ghazali dan saudaranya (Imam Ahmad) kelak menjadi orang yang faqîh dan tonggak dalam suksesnya syiar Islam. Ayah Imam Al-Ghazali memang orang yang gemar mengunjungi majelis-majelis ilmu, melayani para ulama, dan ketika mendengarkan kalam guru-gurunya itu ia menangis dan merunduk sembari melangitkan doa bagi masa depan anak-anaknya.
Doa tersebut terkabul meski sang ayah tak menyaksikan kebesaran anak-anaknya karena wafat sebelum mereka dewasa. Kerasnya hidup sebagai anak yatim dan semangat menimba ilmu yang terus berkobar membuat Al-Ghazali kecil dan saudaranya tumbuh sebagai manusia yang cerdas dan sangat disegani. Wawasannya luas dan terbuka, pribadinya penuh cinta dan kasih sayang, serta kezuhudan dan ketaatannya dalam beragama amat meyakinkan. Bahkan oleh sang guru, Imam al-Haramain, Al-Ghazali dijuluki “bahrun mughdiq” (lautan luas tak bertepi).
Imam Al-Ghazali pernah diangkat sebagai guru besar di Madrasah Nidhamiyah, Bagdad, era kekuasaan Nidhamul Mulk saat usianya 34 tahun. Ini adalah kedudukan tertinggi di dunia pendidikan dan keislaman zaman itu yang belum pernah disandang siapa pun dalam usia yang relatif muda. Meskipun, kehormatan itu sempat ia lepas begitu saja demi pendalamannya terhadap ilmu tasawuf.
Namun demikian, bukan statusnya sebagai profesor itu yang membuat kisah Imam Al-Ghazali menarik. Setelah mengakhiri pengabdian di Madrasah Nidhamiyah, sang imam pulang ke kampung asal, Thus, dan mendirikan zawiyah atau semacam pesantren untuk meneruskan khidmah mengajar hingga akhir hayat. Pada detik-detik kewafatannya, sebuah peristiwa indah terjadi.
Abul Faraj ibn al-Juuzi dalam kitab Ats-Tsabât ‘indal Mamât memaparkan cerita dari Imam Ahmad, saudara kandung Imam Al-Ghazali. Suatu hari, persisnya Senin 14 Jumadil Akhir 505 H, saat terbit fajar, Imam Al-Ghazali mengambil wudhu lalu menunaikan shalat shubuh. Usai sembahyang, Al-Ghazali berkata, “Saya harus memakai kain kafan.” Lalu ia mengambil, mencium, dan meletakkan kain kafan tersebut di kedua matanya.
Selanjutnya, Imam Al-Ghazali berucap, “Saya siap kembali ke hadirat-Mu dengan penuh ketaatan dan kepatuhan (sam‘an wa thâ’atan lid dukhûli ‘alal mulk).” Ia pun meluruskan kedua kakinya, menghadap arah kiblat, lalu kembali kepada Sang Kekasih untuk selama-lamanya. Innâlillâhi wa innâ ilaihi râji‘ûn.
Imam Al-Ghazali wafat pada 19 Desember 1111 dan dikebumikan di desa Thabran, kota Thus. Proses wafatnya yang tenang, damai, dan indah mencerminkan kualitas kehambaannya selama hidup. Kepergiannya ditangisi para ulama, murid-muridnya, dan jutaan umat Islam. Imam Al-Ghazali mewariskan ratusan karya tulis, teladan, dan keilmuan yang tak lekang oleh zaman. []
Penulis adalah Redaktur Pelaksana media islam NU Online.