Ibrahim bin Adham pernah memiliki seorang teman. Suatu hari, ia melakukan perjalanan dengan temannya itu. Pada sutau kesempatan, sang teman bertanya kepadanya tentang keadaan dirinya, “wahai syaikh, tolong beri tahu aku tentang keburukan-keburukanku yang engkau lihat!”
“Aku tak melihat satu keburukan pun darimu,” jawab Ibrahim bin Adham.
Ia lalu melanjutkan jawabannya, “hal ini karena aku melihatmu dengan pandangan pertemanan, bukan permusuhan. Justru, apa pun yang aku lihat darimu sungguh telah membuatku takjub.”
Kisah Ibrahim bin Adham di atas penulis baca dari kitab Tadzkirah al-Awliya karangan Fariduddin al-Attar. Dari kisah di atas kita bisa belajar bagaimana hendaknya cara berteman yang baik dan bagaimana pula cara kita memandang dan memperlakukan teman kita.
Cara pandang yang dipakai untuk melihat suatu masalah merupakan hal inti yang akan menentukan hasil pandangan itu. Ibaratnya, cara pandang adalah kacamata. Jika yang dipakai adalah kacamata warna hitam, maka seluruh yang dilihat akan berwarna hitam. Begitupun dengan warna lainnya.
Dalam kasus Ibrahim bin Adham di atas, yang ia gunakan adalah kacamata pertemanan, sehingga yang tampak olehnya adalah kebaikan dari temannya. Tak ada lagi ruang dalam hatinya untuk melihat dan menampung keburukan dari sosok temannya itu, meski pun pasti ia (sang teman) juga memiliki kesalahan sebagaimana manusia pada umumnya.
Atau bisa jadi, sebenarnya ia memang melihat dan mengetahui bahwa ada keburukan dalam diri temannya itu, namun ia tak menghiraukannya. Ia hanya fokus terhadap sisi baiknya.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa tak ada seorangpun yang sempurna. Semua memiliki salah dan dosa. Namun tidak selayaknya kita hanya melihat mereka dari sisi keburukannya saja. Yang demikian itu hanya akan membuat hati kita keruh. Kita juga akan selalu dibayang-bayangi dengan kesalahan-kesalahannya saja. Selalu ada rasa curiga dalam hati kita. Na’udzubillah.
Allah Swt. berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat [49]: 12)
Dalam tafsir al-Muntakhab dijelaskan bahwa ayat di atas berisi tiga larangan dan satu perintah. Tiga larangan itu adalah (1) larangan berburuk sangka kepada orang-orang baik (ahl al-khair), (2) larangan mencari-cari kesalahan seorang muslim, dan (3) larangan membicarakan keburukan satu sama lain. Sedangkan perintah dalam ayat ini adalah perintah untuk selalu menjaga diri agar tidak terkena siksa Allah, yakni dengan cara selalu mengerjakan perintahNya dan menjauhi larangannya.
Bukankah jika seseorang hanya melihat sesuatu dari kacamata kacamata putih, semua akan terlihat baik-baik saja (khusnudzan), dan membuatnya tidak objektif? Benar.
Namun antara objektif dan khusnudzan tidak bisa dicampuradukkan. Pasalnya, keduanya memiliki ruang lingkup masing-masing. Objektif berkaitan dengan hal-hal rasional dan berbasis otak sedangkan khusnudzan (berbaik sangka) berkaitan dengan spiritual dan berbasis hati.
Walhasil, dari uraian di atass, kita bisa simpulkan bahwa dalam sebuah hubungan pertemanan, hendaknya seseorang selalu melihat sisi baik temannya, bukan sebaliknya. Hal ini akan membuat hubungannya dengan temannya itu langgeng. Jika pun si teman memiliki keburukan, kalau kita mampu, hendaknya diubah secara pelan-pelan dan dengan cara yang baik agar ia tidak tersinggung. Wallahu a’lam.