Manakah yang lebih mulia; seorang faqir yang sabar atau si kaya yang penuh syukur?
Tidak ada yang lebih mulia secara mutlak di antara keduanya, bukan si faqir lebih mulia atau sebaliknya. Tetapi yang lebih mulia adalah yang paling takwa dari keduanya. -Ibnu Taimiyah, Fiqh al-Tasawwuf, 71
Apa sikap Ibnu Taimiyah terhadap tasawuf? banyak yang menduga, bahkan tak sedikit yang meyakini bahwa dia adalah musuh utama dari tasawuf dan para sufi secara mutlak. Sejatinya, hal ini tak sesederhana yang dikira, Ibnu Taimiyah tidak secara mutlak menentang tasawuf, ia hanya ‘memusuhi’ tasawuf (juga para sufi) yang amalan dan ajarannya tak beririsan dengan al-Qur‘an dan Sunnah. Sedang tasawuf yang berkelindan dengan keduanya tak pernah ia tentang, bahkan dalam banyak karyanya ia dukung dan kuatkan.
Berkenaan dengan tasawuf, Ibnu Taimiyah menjelaskan sikapnya di banyak tempat dalam karyanya (Majmu‘ Fatawa, Jilid 10, Fiqh al-Taṣawwuf, al-Tuhfah al-‘Iraqiyyah). Salah satunya adalah risalah -yang men-syarah kitab Futuh al-Ghaib karya Muhyiddin ‘Abd al- Qadir al-Jailani- yang terkenal dengan judul Syarh Kalimat li ‘Abd al-Qadir fi Kitab Futuh al-Ghaib (Majmu’ Fatawa 10: 455-548). Tulisan singkat ini akan fokus pada kitab ini, juga syarh yang ditulis oleh Ibnu Taimiyah.
Baca juga: Kisah Syekh Abdul Qadir al-Jailani Berdialog dengan Orang Fasiq
Ibnu Taimiyah dan Tarekat Qadiriyyah
‘Abd al-Qadir al-Jailani adalah sufi tarekat kenamaan dari mażhab Hanbali, dan bukunya Futuh al-Ghaib adalah salah satu buku tasawuf yang otentik (Michel 1981). Membaca buku ini akan memberi pencerahan; tentang sikap Ibnu Taimiyah terhadap ‘Abd al-Qadir al-Jailani secara khusus, juga sikapnya terhadap tasawuf secara umum. Karena risalah yang men-syarh kitab Futuh al-Ghaib ini, beberapa pengkaji Ibn Taimiyah sampai pada kesimpulan bahwa bahwa Ibnu Taimiyah adalah penganut tarekat Qadiriyyah yang bersanad langsung kepada ‘Abd al-Qadir al-Jailani (Laoust 1939; Makdisi 1979; Rahman 1979; Kabbani 2004).
Meskipun, sependek penelusuran penulis, klaim ini masih terlalu lemah sebagai bukti sejarah (Picken 2011; Sirriyeh 2014). Makdisi contohnya, untuk menguatkan kesimpulannya tidak mengambil data internal karya-karya Ibnu Taimiyah, tapi hanya dari data eksternal, yaitu risalah yang ditulis oleh Yusuf ibn ‘Abd al-Hadi (w. 909 H), yang menurut Makdisi, adalah murid dari Ibn Taimiyah (Michel 1981; Picken 2011). Sepertinya Makdisi kesulitan untuk membedakan antara Muhammad ibn ‘Abd al-Hadi, murid Ibnu Taimiyah, dengan Yusuf ibn ‘Abd al-Hadi.
Meski demikian, yang tak perlu diragukan adalah, bahwa Ibn Taimiyah memiliki penghormatan tinggi kepada ‘Abd al-Qadir al-Jailani. Dalam risalahnya ia selalu menyebut al-Jailani dengan Syaikhuna, panggilan khas di kalangan sufi kala itu.
Ibn Taimiyah dan Tasawuf
Pemikiran mendasar yang disampaikan oleh Ibnu Taimiyah dalam risalah ini adalah ketaatan pada perintah syari‘ah dan menghindari larangannya merupakan kewajiban utama bagi setiap muslim; baik sufi maupun bukan. Menurutnya, ini adalah hakekat yang oleh para sufi selalu disampaikan dan disebarkan dalam ajaran dan amalan. Para sufi tidak bisa terlepas dari perintah dan kewajiban ini, setinggi apapun maqamnya, hal yang menyertainya, dan karamah yang dimilikinya. Justru, semakin tinggi tingkatan spiritual sang sufi, semakin sesuai amalan dan ajarannya dengan syariat Islam. Ibnu Taimiyah juga sepakat dengan ungkapan al-Jailani dalam Futuh al-Ghaib. Menurutnya, bila tasawuf adalah sebagaimana yang disebutkan dalam buku ini, dengan demikian, tasawuf adalah upaya mulia yang wajib untuk didukung dan diperjuangkan.
Baca juga: Berprasangka kepada Ulama, Memangnya Siapa Kita?
Tasawuf dalam pandangan Ibnu Taimiyah adalah upaya paripurna dalam meneladani Rasulullah serta para sahabat (salaf al-ṣalih) yang mendekatkan diri kepada Allah dengan mengutamakan yang sunnah, setelah tentunya mengerjakan dan menunaikan yang wajib. Tujuannya, tidak lain adalah mendekatkan diri kepada Allah dan menggapai RidhaNya. Bukan ittihad; menyatunya żat kita dengan Allah sebagaimana yang diajarkan oleh sebagian sufi, tetapi ittihad iradah, yang artinya, seorang sufi tidak menghendaki apapun dan tidak menginginkan apapun selain apa yang diinginkan dan disukai Tuhan. Dalam ungkapan lain, ittihad adalah puncak ketaatan pada syariat Islam.
Tasawuf Salafi
Berlandaskan pada epistemologi ini, Ibnu Taimiyah menentang sebagian keyakinan, amalan, dan ajaran tasawuf falsafi, seperti fana‘ dan ittihad. Tapi perlu dicatat, yang ditentang adalah fana’ dan ittihad dalam pengertian tasawuf falsafi. Ibnu Taimiyah -juga muridnya Ibnu al-Qayyim- menggunakan kedua terminologi ini dalam karya-karya mereka, bahkan mereka juga mengatakan bila sudah mencapai kedua maqam ini (Homerin 1985; Sarrio 2011).
Kadang tampak ada gesekan antara pendapat Ibnu Taimiyah dan al-Jailani, khususnya dalam hal fana‘ iradah dan penyerahan total terhadap qadha dan qadar, yang menurut Ibnu Taimiyah adalah penyerahan dan ketaatan atas perintah dan larangan Tuhan. Namun demikian, bila kita baca dengan seksama, sejatinya tidak ada pertentangan, keduanya sependapat, perbedaannya hanya dalam tarekat (jalan) yang ditempuh oleh masing-masing sufi untuk mencapainya. Hal ini bukanlah pertentangan yang mendasar. Sebagaimana bila kita hendak berpergian ke ibu kota, banyak rute yang jadi pilihannya. Pilihan kita tak serta merta menjadikan pilihan lainnya salah dan sesat, karena tujuannya sama.
Apa yang disampaikan al-Jailani dalam Futuh al-Ghaib bahwa al-salik harus menghindari larangan, bahkan hal-hal mubah yang dibolehkan. Ibnu Taimiyah menafsirkan apa yang dimaksud dari ungkapan al-Jailani tersebut adalah meninggalkan yang halal untuk menghindari potensi dosa dan maksiat. Dia memberi contoh dengan ‘pelarangan’ ziarah (yang sejatinya diperbolehkan) agar tak terjadi praktek kemusyrikan. Namun, di tempat lain Ibnu Taimiyah juga dengan tegas mengatakan, bila motivasi ziarah benar, justru hal tersebut dianjurkan (Al-Jauziyyah 2004). Konsep-konsep inilah yang kemudian oleh beberapa pengkaji Ibnu Taimiyah disebut dengan neo-sufism (Rahman 1979), tasawuf syar’i (Picken 2011), dan tasawuf salafi (Hilmi 1983; Mahmud 1967).
Baca juga: Kisah Syekh Abdul Qadir al-Jailani dan Dua Teman Alimnya
Ibnu Taimiyah juga mengakui keabsahan żauq dan ilham dalam bertasawuf, keduanya adalah potensi manusia (fitrah) yang diberikan Tuhan. Menurutnya, fitrah manusia bila dilandasi dengan ketakwaan mustahil akan menjerumuskan dan menyesatkan.
Ibnu Taimiyah, dalam Syarh Futuh al-Ghaibnya menegaskan bahwa ia tidak mengingkari tasawuf yang berkelindan dengan al-Qur‘an dan Sunnah sebagai basis epistemologinya. Bahkan Ibnu Taimiyah berupaya untuk mengharmoniskan keduanya; antara tasawuf dan syariah, antara ilham dan zauq sufi dengan fiqh, antara haqiqah dengan syari’ah. Karena sejatinya tidak untuk dipertentangkan, karena semuanya berkelindan di bawah naungan Iman-Islam-Ihsan. (AN)
Wallah A‘lam bi al-Ṣawab