Pada perhelatan acara puncak Sumbu Kebangsaan, Sabtu (18/3) pekan lalu, terdapat satu momen yang cukup menarik. Momen itu adalah ketika Ulil Abshar Abdalla, atau yang lebih akrab disapa Gus Ulil, mendaulat Prof. M. Amin Abdullah sebagai reinkarnasi dari tiga Guru Bangsa. Tiga Guru Bangsa yang dimaksud adalah Nurcholish Madjid (Cak Nur), KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan Buya Ahmad Syafi’i Ma’arif (Buya Syafi’i).
“Pak Amin Abdullah ini saya kira ya reinkarnasi dari tiga tokoh yang ada di belakang ini (Cak Nur, Gus Dur, dan Buya Syafi’i Ma’arif),” tegas Ulil sambil menunjuk poster background panggung utama yang menampilkan potret wajah Cak Nur, Gus Dur, dan Buya Syafi’i.
Penyematan ini bukanlah tanpa alasan. Menurut Ketua Lakpesdam PBNU ini, sosok Guru Besar Ilmu Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini memiliki pikiran-pikiran yang maju. Melalui pikiran-pikirannya, ia mampu mempengaruhi banyak mahasiswa yang diajarnya. Lebih jauh, Gus Ulil juga menganggap Amin Abdullah sebagai salah seorang tokoh yang layak digolongkan sebagai Bapak Bangsa.
Lantas, hal apa yang sebenarnya spesial dari figur Amin Abdullah sehingga Gus Ulil menyebutnya sebagai reinkarnasi dari tiga cendekiawan Muslim ternama tersebut?
Pada acara puncak Sumbu Kebangsaan itu, Amin Abdullah menjadi pembicara utama yang menyampaikan pidato kebangsaan. Dari pidato yang ia paparkan selama kurang lebih tiga puluh menit itu, saya memandang bahwa tidak salah jika Gus Ulil menggunakan kata “reinkarnasi”. Kata “reinkarnasi” itu sendiri bermakna penjelmaan atau kelahiran kembali dari sebuah entitas tertentu, khususnya dalam hal ini manusia yang pernah hidup sebelumnya.
Spirit keislaman yang berpadu dengan kemanusiaan dan kebangsaan tersirat dalam poin-poin yang dijelaskan oleh Amin Abdullah dalam pidatonya. Misalnya, ketika ia mengapresiasi para pemuda pada medio akhir tahun 1920-an untuk merumuskan gagasan yang kelak disebut sebagai Sumpah Pemuda.
Dengan gaya yang apik, Amin Abdullah merefleksikan peristiwa Sumpah Pemuda tahun 1928 sebagai referensi sejarah yang penting bagi lahirnya bangsa Indonesia di kemudian hari. Menurutnya, dalam Sumpah Pemuda yang disebut ialah satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa. Tidak ada penyebutan agama di dalamnya. Apa makna dari hal ini?
“Bangsa harus disebut dahulu karena bertemunya generasi muda saat itu terjadi secara sukarela (voluntary). Masyarakat menghimpun dirinya secara sukarela. Hal ini sangat penting bagi masyarakat multikultural seperti Indonesia,” ungkap Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) itu.
Menurutnya, basis dari sikap sukarela itu sendiri sejatinya sudah terinternalisasi dalam prinsip hidup masyarakat Indonesia, bahkan sebelum kemerdekaannya. Internalisasi itu terwujud melalui kebiasaan gotong royong yang dibangun di berbagai daerah. Manifestasi dari sikap ini akan terlihat dari kemampuan setiap orang untuk melepaskan ego sektoralnya, seperti agama, suku, maupun organisasi.
Hari-hari ini, yang diperlukan oleh seluruh elemen bangsa ini adalah mengesampingkan ego sektoral masing-masing demi tercapainya kepentingan bersama yang maslahat. Amin Abdullah mencontohkan dengan yang terjadi pada periode awal penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia. Ego sektoral terlihat begitu kuat, banyak pengambilan kebijakan yang masih dilandasi kepentingan-kepentingan pribadi maupun kelompok. Oleh karenanya, penting untuk menekan ego sektoral tersebut jika bangsa ini ingin maju dan berkembang di masa depan.
Selain referensi sejarah, poin lain yang juga tak kalah penting dalam pembacaan Amin Abdullah ialah perlunya referensi moral. Dan ia memandang bahwa Cak Nur, Gus Dur, dan Buya Syafi’i adalah figur yang pantas untuk dijadikan referensi moral.
“Cak Nur, Gus Dur, dan Buya Syafi’i Ma’arif adalah referensi moral bagi generasi muda Indonesia saat ini,” terangnya.
Menurut Ketua Komisi Bidang Kebudayaan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia itu, referensi moral itu tercermin dari kesederhanaan, kesungguhan, serta penghayatan akan penderitaan masyarakat yang terejawantah dalam figur-figur guru bangsa tersebut. Lebih lanjut, itu juga mengungkapkan adanya titik temu antara semangat keagamaan dan keindonesiaan (kebinekaan) dalam pemikiran-pemikiran Gus Dur, Cak Nur, dan Buya Syafi’i.
Dalam konteks Amin Abdullah, upaya untuk merajut ide-ide keislaman dan keindonesiaan termanifestasi dalam banyak karyanya yang sering kali menjadi buku-buku rujukan penting bagi para akademisi maupun praktisi. Sebut saja gagasan tentang integrasi-interkoneksi keilmuan sebagai masterpiece-nya, yang bertujuan untuk membangun kolaborasi positif antar bidang-bidang keilmuan yang beragam dan berbeda-beda. Muatan lengkap ide ini bisa dibaca dalam Multidisiplin, Interdisiplinn, dan Transdisiplin: Metode Studi Agama dan Studi Islam di Era Kontemporer (2020).
Atau usaha untuk mengembangkan metodologi riset keilmuan agama yang dituangkan dalam beberapa karyanya, seperti Studi Agama: Normativitas atau Historisitas (1996), Rekonstruksi Metodologi Ilmu-Ilmu Keislaman (2002), dan Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif (2006).
Dari aspek lain, Amin Abdullah juga coba memformulasikan bangunan etika keislaman yang jauh lebih relevan dan kontekstual bagi Indonesia dan masyarakat Muslim hari ini dalam Filsafat Etika Islam: Antara Al-Ghazali dan Kant (2002). Menurutnya, rumusan etika yang pernah dibangun oleh Al-Ghazali pada masa hidupnya kurang lengkap karena ia luput untuk memasukkan fungsi akal budi sebagai instrumen untuk menangkap esensi pengetahuan metafisika maupun non-metafisika.
Belum lagi buku-bukunya yang lain, baik yang ia tulis sendiri maupun kolaborasi dengan penulis lain, semisal Falsafah Kalam pada Era Postmodernisme (1995), Dinamika Islam Kultural: Pemetaan Atas Wacana Keislaman Kontemporer (2000), Pendidikan Agama Era Multikultural Multireligius (2005), Fresh Ijtihad: Manhaj Pemikiran Keislaman Muhammadiyah di Era Disrupsi (2019), Ragam Perspektif Dampak Covid-19 (2021), hingga Negara Pancasila Darul ‘Adhi Wasy-Syahadah: Perspektif Teologis dan Ideologis (2022).
Ketika menarik benang merah pertemuan antara Gus Dur, Cak Nur, dan Buya Syafi’i Ma’arif, Amin Abdullah menyebut bahwa ketiga tokoh tersebut mampu mengawinkan nilai-nilai yang khas (distinctive values) dengan nilai-nilai yang dibagi bersama (shared values).
Dan ikhtiar-ikhtiar yang dilakukan oleh Amin Abdullah, mulai dari menulis buku, mengajar, memberikan pidato dan orasi, hingga menjalankan peran-peran keumatan yang diembannya, pada akhirnya merupakan wujud komitmen dan dedikasinya untuk mengawinkan kedua nilai yang disebut sebagaimana yang dilakukan oleh ketiga Guru Bangsa. Dengan kata lain, Amin Abdullah seolah-olah menjadi wujud reinkarnasi dari ketiga Guru Bangsa, yaitu Cak Nur, Gus Dur, dan Buya Syafi’i. [NH]