“Wahai budak, kesinilah!” Suara Ali bin Abi Thalib memanggil ghulam-nya (budak laki-laki) pada satu hari.
Namun, si budak tak mengindahkannya. Ia tak menjawab panggilan itu. Ali pun memanggilnya lagi. Dan si budak pun tidak juga kunjung menjawab.
Ali pun mengulangi panggilan itu untuk ketiga kalinya. Hasilnya sama: si budak tak menjawab.
Karena tak kunjung mendapat respon, Ali pun bergegas mendatangi tempat si budak berada. Di sana, ia mendapati si budak ternyata sedang rebahan.
“Apakah engkau mendengar panggilanku tadi?,” tanya Ali kepada si budak.
“Iya, aku mendengar,” jawab si budak polos.
“Lantas, mengapa kamu tak segera menjawab panggilanku?,” tanya Ali penasaran.
“Karena aku aman dari siksaanmu (engkau tak menyiksaku). Maka aku merasa malas untuk memenuhi panggilanmu,” jawab si budak menjelaskan.
Kisah di atas penulis dapati dalam kitab al-Risalah al-Qusyairi, karya Abu al-Qasim al-Qusyairi, tepatnya dalam bab al-Khuluq (akhlak).
Terbaca dari kisah di atas, betapa pentingnya sebuah hukuman (punishment) dalam suatu peraturan. Agar berjalan dengan baik dan benar, sebuah peraturan haruslah disertai dengan hukuman bagi siapa saja yang tidak mengindahkannya (di samping juga dibutuhkan reward (penghargaan) bagi yang berhasil mengerjakannya).
Islam sangat mengajarkan betapa ugensinya hukuman dalam penerapan suatu hukum syariat. Misalnya, dalam kasus pembunuhan terhadap orang yang beriman, Allah Swt. berfirman,
“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (QS. Al-Nisa’ [4]: 93)
Dalam Tafsir Jalalin dijelaskan bahwa batasan membunuh yang sampai membuat pelakunya mendapat hukuman sebagaimana terbaca dalam terjemahan ayat di atas adalah: (1) dilakukan dengan sengaja, (2) dengan alat yang bisa membunuh (pisau, pistol, tombak, misalnya), dan (3) dilakukan karena sentiman terhadap keimanan si korban (jika karena si korban merampok (meski dia beriman), maka tidak termasuk dalam bahaan ini).
Contoh lain adalah dalam kasus memerintahkan anak agar mau mengerjakan shalat. Nabi Muhammad Saw bersabda:
“Suruhlah anak kalian shalat ketika berumur tujuh tahun! Dan pukullah mereka ketika berusia sepuluh tahun (jika mereka meninggalkan shalat)! Dan pisahkanlah tempat tidur mereka (antara anak laki-laki dan anak perempuan)!” (HR. Abu Dawud)
Dari hadis di atas, terbaca bagaimana seharusnya hukuman itu diberikan, yakni berupa pukulan dan dalam usia sepuluh tahun. Dipilihnya usia sepuluh tahun, karena sebagaimana penjelasan dalam kitab Ghayah sl-Bayan karya Syamsuddin Muhammad bin Ahmad al-Ramliy al-Anshariy, pada usia segitu, anak biasanya sudah baligh dan sudah mampu menerima pukulan.
Meski diperbolehkan memukul anak, namun pukulan itu harus tetap dalam batasan “tidak menyakitkan”. Begitu kurang lebih penjelasann dalam kitab Tuhfah al-Muhtaj fi Syarh al-Minhaj.
Walhasil, pemberian hukuman (punishment) dalam Islam adalah hal yang disyariatkan. Tujuannya agar hukum bisa diterapkan. Meskipun dalam pelaksanaannya, ada batasan-batasan yang harus diperhatikan.
Namun, jangan sampai hukuman yang diberikan justru menjadi legitimiasi untuk meluapkan segala emosi dan amarah dari pemberi punishment itu sendiri (bukan untuk mendidik dan atau menegakkan hukum). Na’udzubillahi min dzalik.
Jika motif pemberian hukuman adalah demikian adanya (meluapkan amarah), maka menurut penulis, tidak memberi hukuman adalah jalan terbaik, yakni untuk menghindari timbulnya permusuhan antara dua belah pihak (pemberi dan penerima hukuman). Buktinya, dalam kasus menyuruh anak untuk shalat, orangtua dilarang memukul dengan pukulan yang menyakitkan, bukan?
Di akhir kisah Ali bin Abi Thalib dan budaknya di atas, karena kemurahan hatinya, Ali pun membebaskan budak itu dengan berkata, “Engkau sekarang merdeka karena Allah.” Subhanallah.