Tarekat Sadziliyah merupakan satu di antara sekian tarekat (thariqah) yang populer di dunia, termasuk di Indonesia. Selain berbasis syariat yang kokoh, ajaran spiritual sang pendiri dikenal sangat mendorong pengikutnya bekerja dan berusaha, sehingga banyak diikuti kalangan pengusaha, pejabat, dan pegawai.
Dialah Syaikh Abul Hasan asy-Syadzili. Beliau memiliki jejak agung dalam mengajak manusia pada jalan hidayah. Jejaknya harum dan bersih, yang berpindah dari satu orang ke orang lain, dari masa ke masa, hingga zaman kita saat ini.
Syahdan, Islam datang dengan berbagai beban kewajiban yang bertujuan untuk kemaslahatan individu dan masyarakat. Beban (taklif) ini dari namanya saja sudah cukup menjelaskan bahwa untuk menjalankannya amatlah berat, terutama bagi mereka rsambungan dengan Allah Swt.
Ketika taklif-taklif ini berat dilakukan, banyak orang lantas berupaya melepaskan diri darinya dengan berbagai macam cara dan penakwilan yang melenceng. Di antara cara yang paling menyesatkan ada anggapan sebagian orang bahwa salah satu bentuk menjalin hubungan dengan Allah adalah dengan meninggalkan taklif (syariat) itu sendiri. Ini tipu daya setan yang telah diperangi banyak tokoh sufi masa demi masa tanpa kenal ampun.
Di antara ulama sufi yang sangat gencar memerangi kesesatan tersebut adalah Abul Hasan asy-Syadzili. Beliau selalu memerintahkan dan menganjurkan agar mengikuti Kitab dan Sunnah. Beliau menjelaskan lebih lanjut, bahwa berpaling dari keduanya berarti mengikuti jalannya setan.
Abul Hasan asy-Svadzili berkata, “Tidaklah ada kemuliaan yang paling agung selain kemuliaan iman dan mengikuti Sunnah. Siapa saja yang diberi Kitab dan Sunnah lantas dia merindukan yang lain maka dia termasuk ham ba pembohong dan pendusta. Atau, ia tidak menjalankan ilmu dan amal yang benar. Ia bagaikan orang yang mendapat kemuliaan untuk bertemu raja dan di terima dengan tangan terbuka, namun ia justru sibuk dengan ulah lalat sehingga membuat raja tidak suka.”
Tak hanya itu, Abul Hasan juga pernah berkata, “Jika seorang hamba tidak rutin menghadiri shalat lima waktu dengan jamaah, maka jangan pedulikan dia. Sebab, shalat jamaah ini merupakan ciri khas salik.”
Kepada orang yang mengabdikan diri untuk berdakwah, beliau berpesan, “Siapa yang mengajak orang lain ke jalan Allah dengan tanpa sesuatu yang dianjurkan Rasulullah Saw., maka orang itu ahli bid’ah.” Tentu saja bid’ah di sini sesuai dengan istilah Abul Hasan.
Setiap waktu pasti terbatas, setiap masa pasti terhingga. Oleh karena itu, untuk mengikuti jalan kebenaran harus berdasarkan prinsip: “Hendaknya amal ibadah tidak ditunda melewati masa waktunya. Hendaknya amal ibadah tidak ditunda hingga waktu yang lain datang. Maka dari itu, gantilah ibadah (sunnah) yang tertinggal, gantilah ibadah yang lain atau semacamnya itu jika terlewatkan, sebagai penutup atas waktu yang telah berlalu. Sebab, setiap waktu memiliki nilainya sendiri. Sedangkan hak ibadah adalah pemenuhanmu terhadap Allah dengan ketentuan rububiyah-Nya.”
Syahdan, pengakhiran shalat witir oleh Sahabat Umar hingga akhir malam merupakan tradisi yang telah berlaku dan sunnah yang telah ditetapkan. Allah menetapkannya dengan catatan tetap terus dijaga. Sedangkan engkau ada di mana? Justru cenderung berleha-leha, larut dalam syahwat, dan lalai akan musyahadah. Sungguh sangat jauh!
Masih dijumpai banyak orang yang membuat hal baru sebagai ekspresi hawa nafsu mereka yang rusak dengan kedok ilmu. Mereka mengabdikan diri dalam kesesatan itu. Sehingga hal tersebut memalingkan mereka secara total dari kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Maka ilmu itu menjadi hijab yang memisahkan antara mereka dan Allah.
Terhadap mereka yang telah terjerumuskan dalam golongan ini, Abul Hasan berpesan,
“Setiap ilmu yang kau rasakan ada keraguan di dalamnya, menyenangkan hawa nafsu dan naluri kita merasakan kenikmatan, maka buanglah meskipun itu benar. Lalu ambillah ilmu yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya, dan ikutilah ia serta ikutilah Khulafaur Rasyidin, sahabat, tabiin, dan para imam yang mendapat petunjuk. Karena mereka semua terbebas dari hawa nafsu dan tidak menurutinya. Selamatkan dirimu dari keraguan, praduga, kebimbangan, dan tuduhan palsu yang benar-benar menyesatkan dari jalan petunjuk dan hakikat.”
Di kalangan masyarakat, ada sebagian orang yang merasa bahwa ia telah sampai ke maqom (tingkatan) cinta. Hal itu menjadikannya dirinya merasa bebas dari mengerjakan kewajiban syariat Islam. Terhadap orang-orang seperti itu, Abu Hasan berkata:
Aku (Abul Hasan) mendengar bisikan berkata, “Jika engkau menginginkan karamah-Ku, maka engkau harus taat kepada-Ku dan meninggalkan maksiat kepada-Ku.”
Pesan moralnya: “Jika kasyafmu itu bertentangan dengan kitab dan Sunnah, maka ikutilah kitab dan sunnah dan tinggalkan kasyafmu. Lalu, katakan pada dirimu, sesungguhnya Allah telah menjadikan penjagaannya (terhadap manusia dari azab-Nya) satu padu dengan kitab dan Sunnah. Dan Dia tidak memadukannya dengan kasyaf, tidak pula Ilham dan musyahadah. Selain itu, para ulama Sufi juga sepakat bahwa tidak diperkenankan mengamalkan kasyaf, Ilham, atau musyahadah kecuali setelah sebelumnya membandingkannya dengan al-Qur’an dan Sunnah.”
Kesimpulan yang dikehendaki Abu Hasan asy-Syadzilih tercermin dalam pesan berikut:
“Berpalinglah dari menentang Rabbmu, maka engkau akan menjadi ahli tauhid. Kerjakan rukun-rukun syariat, maka engkau menjadi ahli sunnah, dan gabungkan keduanya maka engkau menjadi ahli hakikat.”
Terakhir, kami sajikan pujian seorang Ibnu Athaillah as-Sakandari yang ditujukan untuk Abul Hasan asy-Syadzili:
“Tidak ada seorang pun yang kalbunya bercahaya, bermakrifat, dan memiliki basirah, yang tidak sepakat bahwa Abul Hasan asy-Syadzili adalah Wali Qutub.”
Wallahu a’lam bisshawaab. [NH]