Tentulah semua kita mengimpikan kehidupan rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rahmah. Kita pun senantiasa mengucapkannya sebagai doa buat para sahabat dan kerabat yang melangsungkan pernikahan.
Prof. Quraish Shihab memberikan keterangan mengesankan terkait sakinah mawaddah wa rahmah ini ketika menafsirkan surat ar-Rum ayat 21.
Sakinah adalah ketenangan. Ia bersumber dari rasa cenderung menyukai dan ingin memiliki seseorang lawan jenis.
Mawaddah adalah perasaan ingin bersama, bersatu, dan menyenangkan membahagiakannya.
Rahmah adalah mahabbah, cinta yang telah berada di fase tertinggi –tanpa pamrih, menerima apa adanya, serupa apa pun keadaannya.
Kedamaian kehidupan rumah tangga, kita tahu, merupakan sumber utama dan pertama bagi segala macam kesuksesan hidup. Seseorang yang moncer karir dan bisnisnya, dalam bidang apa pun, pastilah mendapatkan dukungan dan spirit yang menentetramkan dari keluarganya. Begitupun sebaliknya. Mau secemerlang apa pun kecerdasan seseorang, jika rumah tangganya berantakan, maka akan remuk-redamlah perjalanan karir dan bisnisnya.
Begitu mendasarnya peran rumah tangga bagi perjalanan hidup semua orang.
Tentulah, apalagi di masa kini, setiap rumah tangga baru dirajut, berangkat dari rasa saling cinta antarkeduanya, lelaki-perempuan. Tetapi, ini tidak berarti bahwa rumah tangga baru akan merangsak kilat ke jenjang mawaddah, apalagi rahmah. Semua rumah tangga, secerdas apa pun penghuninya, akan menapaki fase-fase alamiah sakinah, lalu mawaddah, lalu rahmah.
Prof. Quraish Shihab menerangkan bahwa setiap rumah tangga baru, sepanjang dibangun atas dasar cinta, niscaya akan meraih maqam sakinah itu, yakni ketenangan, kedamaian. Akan tetapi, derajat sakinah ini adalah sakinah yang dinamis (betapa kerennya istilah beliau ini).
Artinya, ketenangan di dalamnya akan mengalami dinamika, naik-turun. Akan ada perselisihan, perdebatan, bahkan pertengkaran khas orang-orang usia muda yang baru saja hidup bersama dengan latar belakang masing-masing yang tentu tak pernah serupa.
Proses penyatuan kedua jiwa dalam satu rumah itu, siang dan malam, akan terus berdinamika dalam kesakinahan (sebab itulah yang menjadi tujuan awal memutuskan hidup bersama dalam sebuah rumah tangga). Berselisih, berdebat, hingga bertengkar adalah dinamika alamiah antarkeduanya, yang tetap akan meruahkan kesakinahan, ketenangan, kebahagiaan.
Jika fase sakinah ini telah beranjak ke jenjang mawaddah, yang ditandai dengan makin besarnya penerimaan hati kepada perbedaan khas pasangan, maka kesakinahan itu akan menebal, mematang, dan mengokoh, hingga –sederhananya—tak ada lagi lintasan berpisah, berjauhan, antarkeduanya, walau perselisihan, perdebatan, dan bahkan pertengkaran pun masih bisa saja terjadi. Makin besarnya rasa pengertian di dalam hati kepada kekhasan karakter pasangan akan makin meruahkan rasa penerimaan untuk terus hidup bersama. Tentu, di antara tandanya ialah makin jarangnya perselisihan itu dan makin ringkasnya pula jalan akur pasca perselisihan.
Fase lanjutannya ialah rahmah.
Saya pribadi membayangkan bahwa penggunaan lema rahmat yang merupakan “akhlak Allah Swt” dalam konteks rumah tangga ini dapat dipahami sebagai betapa telah lebih luasnya dorongan dan perilaku mendahulukan pasangan dibanding diri sendiri. Bukankah rahmat Allah Swt senantiasa dihamparkan kepada siapa pun, termasuk yang tak terbersit untuk kita mohonkan padaNya, juga termasuk bagi mereka yang menentang dan mengingkariNya?
Segala apa yang dikaruniakan Allah Swt kepada kita, dalam kondisi rohani dan amal bagaimanapun, menjadi sebab bagi masih hidupnya kita dengan senang dan nyaman. Bukankah saat kita sedang maksiat kepadaNya, atau lupa kepadaNya, kita tetap diberikan napas yang normal, pikiran yang logis stabil, serta rezeki yang banyak?
Begitulah keagungan rahmat Allah Swt.
Pada tataran kita yang manusia ini, sifat rahmat kepada pasangan dalam rumah tangga, kiranya juga berdenyar demikian. Mau tidak menarik bagaimanapun lagi pasangan kita, atau ia keceplosan ngomel mendelik kepada kita, kerahmatan cum kasih sayang di hati kita kepadanya mengalahkan semua rasa tidak menyenangkan itu, dan semata lalu menerimanya apa adanya, memafkannya atas apa pun khilafnya, dan terus membersamainya dalam segala keadaan.
Pada pernikahan yang telah memasuki derajat rahmah, tidak ada lagi hal-hal yang artifisial, lahiriah. Yang ada adalah semata cinta, cinta, dan cinta…